Still Breathing

Penulis N
Chapter #1

1

Langit kota kecil itu pucat. Seperti selembar kain linen yang lupa dicuci. Tak ada sinar matahari mencolok, hanya semburat abu-abu yang menenangkan—atau menyesakkan, tergantung siapa yang memandang.

Aurra Lavelle menarik napas panjang di ambang pintu rumah barunya. Sebuah rumah kayu bergaya vintage yang ia sewa murah dari seorang janda pemilik toko bunga. Catnya sudah memudar, tapi Aurra tak peduli. Ia bukan datang untuk mencari keindahan, hanya keheningan.

Di tangannya, sebuah kotak kecil berisi kamera tua. Kamera itu dulunya miliknya—mereka berdua—tapi sekarang hanya miliknya seorang.

Ia meletakkan kotak itu di atas meja dekat jendela. Tak berniat membukanya. Belum.

Dari luar, suara burung gereja bersahutan. Jalanan tak ramai, hanya sesekali terdengar suara sepeda anak kecil, atau anjing menggonggong di kejauhan. Kota ini seperti tidur, dan Aurra merasa nyaman dengan itu.

Ia membuka laptop, mengecek surel dari klien yang memintanya mengedit foto pernikahan. Ironis. Tapi ia butuh uang, dan belum siap menolak pekerjaan hanya karena topiknya menyakitkan.

Aurra mengedit foto tanpa suara. Tidak ada musik, tidak ada notifikasi. Ia menyukai kebisuan, atau setidaknya pura-pura menyukainya.

Menjelang sore, perutnya memaksa ia keluar. Warung makan terdekat hanya lima menit jalan kaki. Ia mengenakan hoodie abu-abu dan celana panjang hitam. Topinya ditarik rendah, seperti pelindung dari dunia.

Saat ia melangkah ke trotoar, sesuatu yang berbeda menyapanya: bau asap. Tapi bukan asap polusi—lebih seperti kayu terbakar yang membawa kenangan aneh. Ia berbalik dan melihat sekelompok petugas pemadam berjalan keluar dari sebuah gang kecil. Satu orang menarik perhatian.

Tinggi. Bahunya lebar. Rambutnya hitam sedikit ikal, dibiarkan acak-acakan. Senyumnya sekilas muncul saat bercanda dengan rekannya, lalu hilang saat tatapannya tak sengaja bertemu dengan mata Aurra.

Ia hanya mengangguk pelan, sopan. Aurra menunduk cepat, melanjutkan langkah seakan tidak terjadi apa-apa. Tapi langkahnya jadi tak seimbang. Ia membenci ketika orang asing melihatnya seolah tahu ada yang patah.

Warung makan itu kecil, dengan lima meja dan aroma sup kaldu yang memenuhi udara. Seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan ramah. Aurra membalas dengan senyum singkat, memesan makanan dan duduk di sudut.

Dari jendela, ia bisa melihat lelaki pemadam kebakaran itu masih berdiri di depan gang, berbicara dengan warga. Sesekali ia tersenyum. Bukan senyum lebar, tapi semacam isyarat bahwa ia tahu cara bertahan hidup di dunia yang tidak selalu ramah.

"Gio Renanta," suara pemilik warung menyela lamunannya. "Itu nama anak pemadam itu. Baik orangnya. Banyak bantu warga sini."

Aurra hanya mengangguk. Ia tidak bertanya, tapi perempuan itu tetap bercerita seolah membaca pikirannya.

"Anaknya pintar. Tapi suka menyendiri. Katanya pernah kehilangan juga. Tapi nggak tahu pasti apa."

Aurra tak merespons. Ia menunduk, mengaduk kuah sup dengan sendok kecil. Kata 'kehilangan' membuat tenggorokannya terasa kering. Semua orang kehilangan sesuatu, tapi tidak semua orang menjadikannya alasan untuk menghilang.

Ia menyelesaikan makannya dengan cepat dan kembali ke rumah. Saat hendak membuka pintu, ia sadar seseorang berdiri beberapa langkah di belakangnya.

Gio Renanta. Masih mengenakan seragam, jaketnya dilipat di lengan. Tangannya membawa seikat bunga kecil—sejenis lavender liar.

"Ini dari Ibu Lestari. Katanya buat penyewa baru." Suaranya berat, tapi ramah.

Aurra mengambil bunga itu tanpa menyentuh tangannya. "Terima kasih."

"Selamat datang di kota kecil kami," ucapnya lagi, kemudian pergi sebelum ia sempat menjawab.

Aurra berdiri diam. Angin sore meniupkan aroma lavender yang samar. Ia memandangi bunga itu sejenak, lalu membawanya masuk.

Untuk pertama kalinya sejak lama, ia menaruh sesuatu di dalam vas.

Bunga lavender itu kini berdiri dalam vas kaca kecil, diletakkan di atas meja dekat jendela. Cahaya pagi menyusup lewat tirai tipis, memantulkan bayangan kelopaknya ke dinding. Aurra menatapnya beberapa detik, lalu kembali menunduk pada laptopnya.

Sudah hampir seminggu ia tinggal di kota ini. Hari-harinya berjalan dalam pola yang hampir identik—bangun, bekerja, makan di warung yang sama, lalu kembali tenggelam dalam sunyi. Namun sejak pertemuan singkat dengan Gio Renanta, ada sesuatu yang tidak lagi sepenuhnya hening.

Nama itu terngiang sesekali saat ia berjalan di jalanan. Tidak seperti suara, yang bisa ditutup dengan telinga, nama punya cara lain menyelinap. Ia mencoba mengabaikannya.

Hari ini, Aurra memutuskan keluar lebih pagi. Bukan untuk mencari siapa-siapa. Hanya ingin berjalan, menenangkan pikirannya sebelum menerima tumpukan revisi dari klien. Ia membawa kameranya—kamera lain, bukan yang ada dalam kotak kenangan itu. Yang ini ringan, netral. Seperti kertas kosong yang belum bernama.

Jalanan kota itu mulai sedikit ramai. Beberapa anak sekolah melintasi trotoar, dan pedagang buah membuka lapaknya. Aurra mengambil beberapa potret diam-diam: tangan seorang ibu yang menggenggam erat tangan anaknya, keranjang apel yang jatuh lalu dipungut seorang remaja, bahkan seekor kucing oranye yang tidur di bawah bangku taman.

Ia sedang mengatur fokus lensa ketika suara seseorang menyapanya dari belakang.

"Kamu fotografer?"

Aurra menoleh. Gio berdiri di sana, kali ini berpakaian biasa—kaus abu-abu dan jeans gelap, rambutnya masih berantakan. Di tangan kanannya ada dua gelas kopi dalam kemasan kertas.

"Aku lihat kamu bawa kamera. Penasaran aja," lanjutnya, saat Aurra tak segera menjawab.

"Ya, semacam itu," kata Aurra pelan. Ia tidak ingin menjelaskan. Tapi ia juga tidak ingin terlihat kasar.

Gio mengangguk, lalu menyodorkan salah satu gelas kopi. "Kebetulan beli dua. Kamu mau?"

Aurra sempat ragu. Tapi tatapan Gio tidak memaksa. Ia hanya berdiri seperti seseorang yang terbiasa menunggu, bukan memaksa. Akhirnya, ia mengambil kopi itu.

"Terima kasih," gumamnya.

Lihat selengkapnya