Malam itu, Aurra menatap langit gelap dari balik jendela apartemennya. Suara gemericik hujan turun pelan seperti irama yang menenangkan sekaligus mengusik. Pesan dari Gio tadi sore masih membekas di pikirannya: "Aku siap mendengar." Kata-kata itu sederhana, tapi membawa arti besar.
Aurra duduk di meja kecil di sudut kamar, membuka buku catatan tua yang selama ini jarang disentuhnya. Di halaman pertama tertulis tanggal-tanggal penting dalam hidupnya—setiap catatan selalu berakhir dengan goresan tinta yang samar, seolah ada sesuatu yang tak bisa ia tulis dengan terang.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai menulis dengan tangan gemetar.
"Ezra, kamu adalah bagian dari hidupku yang tak pernah selesai kutulis. Kepergianmu seperti lubang hitam yang menelan segalanya. Aku berusaha terus bernapas, tapi tanpa kamu, semuanya terasa hampa. Aku takut aku akan kehilangan diri sendiri jika terus tenggelam dalam kesedihan ini."
Tulisan itu membuat dadanya sesak. Tapi untuk pertama kalinya sejak lama, ia membiarkan air mata mengalir bebas. Ia tahu, ini bukan tanda kelemahan, tapi keberanian untuk menghadapi luka yang selama ini tersembunyi.
Keesokan harinya, Aurra bertemu dengan Gio di sebuah kafe kecil yang hangat. Ia membawa buku catatan itu dan sedikit ragu ingin membukanya di hadapan Gio. Namun, ia tahu ini penting.
"Aku ingin kamu tahu," katanya pelan, "apa yang selama ini aku simpan."
Gio mendengarkan dengan seksama saat Aurra mulai membacakan beberapa bagian dari catatan itu. Suaranya bergetar saat menyebut nama Ezra, tapi ada keteguhan dalam matanya.
Setelah selesai, Gio menghela napas panjang dan menatap Aurra penuh empati. "Aku tahu kehilangan itu berat. Aku juga punya beban yang kadang membuatku merasa terasing."
"Apa itu?" tanya Aurra, penasaran.
Gio mengisahkan masa kecilnya yang penuh tekanan dari keluarga dan bagaimana ia merasa harus selalu sempurna agar diterima. "Kadang aku merasa seperti aku menjalani hidup yang bukan milikku sendiri. Aku ingin bebas, tapi tidak tahu harus mulai dari mana."
Aurra mengangguk, merasakan resonansi dari cerita Gio. "Mungkin kita sama-sama berjuang dengan bayangan masa lalu yang sulit dihadapi."
Mereka berbicara hingga larut, berbagi cerita yang selama ini terpendam, menemukan kekuatan dari saling mendengarkan.
Hari-hari berikutnya, Aurra mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Kamera yang dulu terasa berat kini kembali menjadi teman yang menenangkan. Ia mulai mengambil foto lagi, menangkap momen-momen kecil yang penuh makna—senyum anak-anak, rintik hujan yang menetes di jendela, cahaya senja yang memeluk kota.
Gio juga berubah. Ia mulai membuka diri, tidak lagi menyembunyikan beban di balik senyum datarnya. Mereka menjadi tempat berlabuh satu sama lain.
Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama.
Suatu malam, saat Aurra sedang memeriksa hasil jepretannya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
"Berhati-hatilah dengan siapa kamu percaya. Masa lalu tidak pernah benar-benar pergi."
Aurra membaca pesan itu berulang kali, jantungnya berdegup kencang. Siapa yang mengirim pesan ini? Dan apa maksudnya?
Ketika ia hendak membalas, ponselnya mati mendadak. Lampu apartemen juga padam, meninggalkan kegelapan yang pekat.
Aurra berdiri membeku, merasakan hawa dingin yang menyelinap ke kulitnya. Ada sesuatu yang tidak beres.
Pikiran-pikiran gelap mulai menerpa, tapi ia berusaha tenang. "Aku harus bicara dengan Gio," gumamnya dalam hati.
Keesokan harinya, Aurra bertemu Gio dengan wajah serius. Ia menceritakan pesan misterius itu.
Gio menatapnya dengan serius, lalu berkata, "Sepertinya masa lalu itu memang belum selesai. Kita harus waspada."
Aurra mengangguk, walau hatinya tak bisa menahan rasa takut.
Mereka tahu, perjalanan untuk sembuh dari luka lama bukan hanya soal menghapus kenangan, tapi juga menghadapi bayangan-bayangan yang mungkin ingin kembali.
Dan mereka siap melangkah bersama, walau jalan ke depan penuh dengan ketidakpastian.