Still Breathing

Penulis N
Chapter #5

5

Kehadiran Arif membawa angin segar bagi Aurra dan tim kecilnya. Ia bukan hanya seseorang yang kuat secara fisik, tetapi juga memiliki insting dan pengalaman yang sangat berharga. Dengan cepat, Arif mulai membantu mereka merancang langkah-langkah keamanan agar bukti-bukti yang sudah mereka kumpulkan tetap aman dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

"Kita harus memperkuat sistem keamanan digital," ujar Arif saat bertemu dengan Aurra, Gio, Mira, dan Reyhan di ruang kerja kecil mereka. "Setiap file dan komunikasi harus terenkripsi dengan tingkat keamanan tinggi. Aku bisa bantu mengatur ini."

Gio mengangguk antusias, "Dengan begitu, kita bisa menghindari risiko penyadapan dan penghapusan data secara paksa."

Mira menambahkan, "Dan kita juga harus memastikan lokasi pertemuan dan kerja kita benar-benar aman, tidak mudah terlacak."

Aurra merasa sedikit lega. Sejak ancaman demi ancaman datang, ia tahu bahwa mereka tidak bisa bekerja sembarangan. Keamanan adalah prioritas utama.

Namun, tekanan tidak berhenti di situ. Media mulai mencium adanya gelagat besar di balik yayasan amal yang selama ini dianggap bersih dan berprestasi. Beberapa reporter mulai mendekati Aurra dan tim, menanyakan kabar investigasi mereka.

Suatu sore, saat Aurra sedang berada di sebuah kafe kecil, seorang reporter muda bernama Lila datang mendekat.

"Aku dengar kalian sedang mengungkap sesuatu yang besar," kata Lila dengan nada penasaran. "Apakah saya bisa membantu?"

Aurra menatapnya dan merasa ada ketulusan di mata gadis itu. "Kami masih berhati-hati. Tapi jika kamu mau bergabung, kita bisa saling melengkapi."

Lila tersenyum lega, "Aku tidak akan mengecewakan kalian."

Bersama Lila, tim semakin solid. Mereka bekerja tanpa henti, menyisir lebih dalam bukti dan menghubungkan titik-titik yang selama ini tersembunyi.

Namun, di balik semua usaha itu, Aurra mulai merasakan beban yang berat. Hubungan pribadinya mulai renggang, terutama dengan keluarganya yang tidak tahu menahu tentang apa yang sedang terjadi. Mereka menganggap Aurra terlalu larut dalam pekerjaan dan kehilangan arah.

Suatu malam, saat Aurra pulang, ia menerima pesan singkat dari adiknya, Rian.

"Aku rindu. Kapan kita bisa ngobrol seperti dulu lagi?"

Aurra menatap pesan itu dengan sedih. Ia tahu, di balik semua perjuangan ini, ada harga yang harus dibayar. Hubungan dengan keluarga mulai tergerus oleh fokusnya pada kasus ini.

Namun, tekad Aurra tetap teguh. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk dirinya atau teman-temannya, tapi untuk masa depan yang lebih baik.

Hari-hari berlalu dan bukti-bukti yang mereka kumpulkan mulai menguat. Mereka memutuskan untuk mengatur konferensi pers sebagai langkah besar berikutnya. Bersama Reyhan dan Lila, mereka menyiapkan semua dengan hati-hati.

Sebelum hari konferensi, Aurra berdiri di depan cermin. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

"Ini bukan hanya tentang aku," pikirnya. "Ini tentang semua orang yang membutuhkan kebenaran."

Hari konferensi pers tiba. Ruangan penuh dengan wartawan dan kamera yang siap merekam setiap detik. Aurra berdiri di podium, ditemani Gio, Mira, Reyhan, dan Lila.

Dengan suara yang mantap, Aurra membuka presentasi mereka. Bukti-bukti yang mereka kumpulkan satu per satu ditampilkan, tak terbantahkan, dan menguak kedalaman skandal yang selama ini disembunyikan.

Ruangan berubah gaduh, wartawan saling bertanya, dan lampu kamera berkedip-kedip. Ini adalah momen yang menentukan. Momen ketika kebenaran akhirnya berbicara.

Setelah konferensi, Aurra duduk sendiri di ruang belakang. Ia lelah, tapi ada rasa lega yang tak bisa diungkapkan. Perjuangan panjang yang mereka jalani akhirnya mencapai puncaknya.

Namun, ia juga sadar, ini baru awal. Perlawanan dan perubahan masih panjang.

Di balik semua itu, Aurra berbisik dalam hati, "Aku masih bernapas. Dan aku akan terus berjuang."

Setelah konferensi pers yang mengguncang publik, gelombang reaksi pun langsung menerpa Aurra dan timnya. Telepon berdering tak henti, pesan masuk memenuhi kotak masuk email, dan komentar di media sosial memuncak. Ada yang memberi dukungan, namun tak sedikit pula yang menyerang mereka dengan kata-kata kasar dan ancaman tersembunyi.

Aurra duduk di meja kerja, menatap layar komputer yang menampilkan berita-berita tentang mereka. Judul-judul seperti "Skandal Terungkap: Yayasan Amal di Bawah Sorotan" dan "Kebenaran yang Mengguncang Kota" memenuhi halaman depan.

Reyhan datang membawa secangkir kopi. "Kamu lihat ini? Reaksi publik luar biasa. Tapi hati-hati, Aurra. Mereka yang kami ungkap ini tidak akan diam begitu saja."

Aurra mengangguk. "Aku tahu. Kita harus siap menghadapi segala kemungkinan."

Hari-hari berikutnya menjadi sangat sibuk. Penyidik kepolisian mulai bergerak, melakukan pemeriksaan dan memanggil sejumlah pihak yang terkait. Namun, di balik kemajuan itu, tekanan terhadap Aurra dan tim juga meningkat. Mereka mulai merasa diawasi dan diintimidasi.

Suatu malam, saat Aurra pulang dari kantor, ia menemukan surat tanpa alamat di depan pintu apartemennya. Surat itu berisi peringatan halus: "Berhenti sebelum terlambat. Jangan bawa masalah ini lebih jauh."

Mata Aurra berkaca-kaca, tapi ia tak membiarkan ketakutan menguasainya. Sebaliknya, ia menumpahkan perasaannya dalam pesan singkat kepada Mira dan Gio.

"Kita harus kuat. Ini bukan hanya tentang kita, tapi tentang kebenaran."

Mira membalas, "Setiap langkah kita adalah kemenangan. Jangan pernah ragu."

Lihat selengkapnya