Still Breathing

Penulis N
Chapter #7

7

Pagi itu, Aurra terbangun dengan kepala berat. Hujan turun perlahan, membasahi jendela apartemennya. Suasana yang sunyi dan mendung seolah menggambarkan beratnya beban yang ia pikul. Sejak ancaman terakhir, Aurra merasakan dunia seakan semakin sempit dan penuh jebakan.

Setelah menyiapkan secangkir kopi, Aurra membuka laptopnya lagi. Ia harus mengecek semua komunikasi terakhir, mencari celah yang mungkin bisa digunakan untuk memperkuat bukti sekaligus menghindari mata-mata dalam timnya. Tapi semakin dalam ia menelusuri, semakin banyak titik gelap yang ditemukan.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Pesan masuk dari nomor tak dikenal. Hati Aurra berdebar, tapi ia segera membuka pesan itu.

"Aku tahu kamu sedang mencari kebenaran. Tapi berhati-hatilah, mereka lebih dekat dari yang kamu kira."

Tidak ada nama pengirim. Aurra menatap pesan itu lama, lalu menutup ponselnya dengan hati-hati. Ini bukan ancaman biasa. Ini peringatan.

Tak lama kemudian, Reyhan datang mengunjungi Aurra. Wajahnya tampak lelah, namun ada ketegasan dalam sorot matanya.

"Kita harus bicara," katanya pelan.

Aurra mengangguk dan mengajak Reyhan duduk di ruang tamu. "Apa yang kamu dapatkan?"

Reyhan mengeluarkan dokumen-dokumen rahasia yang baru saja ia dapatkan dari seorang informan. "Ini data transaksi keuangan yang mengarah ke beberapa pejabat tinggi dan bisnis besar yang selama ini tersembunyi."

Aurra membaca dengan seksama. Semua data itu sangat krusial. "Ini bisa menjadi senjata utama kita."

Tiba-tiba, terdengar suara keras dari luar. Pintu depan diketuk dengan keras. Aurra dan Reyhan saling berpandangan. "Siapa itu?" tanya Aurra dengan suara rendah.

Tidak ada jawaban. Hanya ketukan semakin keras. Aurra merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Reyhan melangkah ke pintu dan mengintip melalui lubang pengintai. "Tidak ada siapa-siapa," katanya bingung.

Namun, detik berikutnya, sebuah suara perempuan berteriak dari luar, "Tolong! Ada yang mengikuti saya!"

Aurra dan Reyhan segera membuka pintu. Seorang wanita muda dengan wajah panik berdiri di depan mereka. Bajunya basah kuyup, seolah baru saja lari dari sesuatu.

"Apa yang terjadi?" tanya Aurra cepat.

Wanita itu terengah-engah. "Saya dikejar oleh orang-orang yang tidak ingin kebenaran keluar. Mereka bilang saya harus diam, tapi saya tidak bisa."

Reyhan memandang Aurra dengan serius. "Kita harus membantunya."

Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Lila, seorang pegawai negeri yang menemukan bukti pelanggaran serius dalam proyek pemerintah. "Saya takut hidup saya dalam bahaya," katanya lirih.

Aurra merasa ada getaran kuat di dalam dirinya. Ini bukan hanya tentang dirinya dan timnya, tapi juga tentang orang-orang yang berani berbicara dan mencari keadilan.

"Tenang, Lila. Kami akan melindungi kamu," kata Aurra mantap.

Malam itu, mereka mengatur strategi untuk melindungi Lila dan memastikan bukti yang dimilikinya bisa sampai ke pihak yang tepat. Namun, Aurra tahu, dengan bertambahnya orang yang terlibat, risiko juga semakin besar.

Tiba-tiba ponsel Aurra bergetar lagi. Kali ini, sebuah video pendek muncul, memperlihatkan bayangan seseorang yang mengintai apartemennya. Suara di video itu berkata, "Ini peringatan terakhir, berhenti sebelum terlambat."

Aurra menelan ludah, menatap layar dengan mata tajam. "Mereka semakin dekat."

Reyhan meletakkan tangan di bahunya. "Kita harus tetap kuat. Ini bukan hanya perjuangan kita, tapi juga mereka yang percaya pada keadilan."

Aurra mengangguk pelan. Dalam hati, ia tahu jalan ini masih panjang dan berbahaya. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan menyerah. Tidak sekarang, tidak pernah.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang semakin meningkat. Aurra tak bisa lagi merasa aman di tempat yang dulu dianggap rumahnya. Setiap suara di malam hari, setiap langkah kaki di lorong apartemen, membuatnya terjaga dan waspada.

Setelah insiden dengan Lila, Aurra menyadari betapa besar jaringan yang sedang mereka hadapi. Tidak hanya pejabat tinggi, tapi juga orang-orang berpengaruh yang mampu menyusup ke mana saja, bahkan ke dalam lingkaran terdekat mereka.

Reyhan terus mendampingi Aurra, selalu siap siaga. Ia menjadi tumpuan Aurra dalam menghadapi badai yang semakin mengancam. Tapi di balik semua itu, Aurra tahu beban ini tak hanya ditanggungnya sendiri. Mira dan Gio juga mulai merasakan tekanan.

Suatu sore, saat Aurra sedang bekerja di kantor kecil yang mereka jadikan markas, teleponnya berdering. Ia mengangkat dengan hati-hati.

"Selamat siang, Bu Aurra," suara di ujung telepon terdengar asing, namun dingin. "Kami tahu apa yang sedang Anda lakukan. Jika Anda ingin tetap hidup, hentikan semua ini."

Aurra menggenggam telepon erat-erat. "Saya tidak akan berhenti. Kebenaran harus keluar."

Suaranya bergetar, tapi tekadnya tetap kuat. Setelah menutup telepon, Aurra memandang ke Reyhan yang duduk di seberangnya.

"Mereka semakin berani," kata Reyhan serius.

Aurra mengangguk. "Kita harus segera bertindak, sebelum semuanya terlambat."

Lihat selengkapnya