Still Breathing

Penulis N
Chapter #10

10

Keesokan paginya, Aurra terbangun dengan kepala yang masih penuh oleh bayangan ancaman malam sebelumnya. Matahari sudah menyelinap masuk lewat celah tirai, namun hatinya terasa gelap, berat oleh ketidakpastian. Ia duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya perlahan, mencoba mengusir sisa-sisa mimpi buruk yang datang tanpa diundang.

Pikirannya melayang pada pesan terakhir yang masuk ke ponselnya, pesan yang membuatnya sadar betapa jauh bahaya itu mengintai. Tetapi Aurra tahu, ia tidak bisa terus-terusan melarikan diri dari kenyataan. Ia harus mencari cara untuk menguak semua rahasia ini sampai tuntas.

Setelah mandi dan bersiap, Aurra menyalakan laptopnya. Di layar yang menyala, ia membuka kembali file-file yang Reyhan berikan kemarin. Dokumen-dokumen itu adalah kunci untuk menemukan siapa di balik ancaman ini.

"Aku harus mencari tahu siapa yang berani mengirim pesan ini," gumam Aurra.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari nomor tak dikenal. Dengan tangan yang sedikit bergetar, Aurra membuka pesan itu.

"Ketemu di taman kota jam 5 sore. Jangan bawa siapa pun. Jangan coba-coba lapor polisi lagi."

Pesan singkat itu membuat darah Aurra berdesir. Siapa yang mengirimnya? Apakah jebakan? Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang berkata ia harus datang. Ini mungkin kesempatan untuk mendapatkan jawaban.

Siang harinya terasa lambat. Aurra tidak banyak bicara saat makan siang dengan Mira dan Reyhan. Mereka sudah tahu soal pesan itu setelah Aurra menunjukkan pesan tersebut. "Kamu yakin mau pergi sendirian?" tanya Mira dengan suara khawatir.

Aurra mengangguk. "Aku harus tahu siapa yang selama ini mengintai kita. Kalau aku mundur sekarang, artinya mereka menang."

Reyhan terlihat ragu tapi akhirnya mengangguk setuju. "Kalau kamu bilang begitu, kita akan siap kalau terjadi apa-apa. Aku pantau lewat ponselmu."

Waktu terus berjalan. Saat jam 4.45 sore, Aurra sudah berada di taman kota. Udara sore itu sejuk dengan aroma bunga dan suara riuh anak-anak yang bermain di kejauhan. Namun di dalam hati, Aurra merasa sunyi dan waspada.

Ia memilih duduk di bangku yang agak tersembunyi di bawah pohon besar. Waktu terus berjalan, jarum jam menunjukkan hampir pukul 5. Tiba-tiba, sosok yang lama tidak ia kenal muncul dari balik pohon.

"Aurra." Suara itu berat dan familiar.

Aurra menoleh dan melihat sosok pria dengan wajah yang tak asing baginya. Mata pria itu tajam, penuh perhitungan. Dia mengenakan jaket gelap dan celana hitam, seolah siap menghadapi malam yang akan datang.

"Kenapa kamu di sini?" tanya Aurra dengan suara bergetar tapi tegas.

Pria itu melangkah maju. "Aku punya jawaban untukmu. Tapi kamu harus janji tidak akan membocorkannya ke siapa pun sebelum waktunya."

Aurra mengangguk, walau jantungnya berdegup cepat.

Pria itu duduk di bangku, lalu mulai bercerita. "Aku adalah bagian dari orang-orang yang dulu bekerja sama dengan ayahmu. Kami ingin membawa perubahan, tapi ada banyak yang tidak setuju, termasuk beberapa orang kuat yang menginginkan semuanya tetap tersembunyi."

Aurra mendengarkan dengan seksama. "Lalu kenapa Nadia dan ayahku harus hilang?"

"Karena mereka berani melawan," jawab pria itu. "Mereka tahu terlalu banyak, dan mereka berencana membongkar semua korupsi dan konspirasi besar. Tapi ada yang membocorkan rencana itu, dan itulah awal dari segalanya."

Aurra merasa seperti mendapatkan potongan puzzle yang selama ini hilang. Namun, masih banyak pertanyaan yang mengganjal.

"Kalau kamu bagian dari mereka, kenapa sekarang kamu menyembunyikan diri? Apa kamu takut?"

Pria itu tertawa pelan. "Tidak takut, tapi berhati-hati. Aku tidak ingin orang-orang yang sama menyakitimu."

"Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Aurra.

"Aku akan membantumu. Ada dokumen lain yang harus kamu dapatkan dari tempat ayahmu dulu bekerja. Di sana ada bukti kuat yang bisa membuka semuanya."

Aurra mengangguk mantap. "Aku siap."

Malam mulai turun. Pria itu memberikan alamat dan berpesan agar Aurra tidak memberitahu siapa pun kecuali Mira dan Reyhan.

Saat pria itu berlalu, Aurra menatapnya dan berbisik, "Terima kasih sudah datang."

Langkah pria itu menghilang dalam gelap, meninggalkan Aurra dengan tugas baru dan harapan yang mulai tumbuh.

Di rumah, Aurra langsung menghubungi Mira dan Reyhan. Mereka sepakat untuk merencanakan pencarian dokumen keesokan harinya.

Namun, Aurra tak bisa tidur malam itu. Bayangan sosok pria tadi dan rahasia yang mulai terkuak memenuhi pikirannya. Ia sadar, perjuangan ini akan membawa mereka ke titik yang lebih berbahaya, tapi juga lebih dekat dengan kebenaran.

"Aku tidak akan menyerah," batinnya.

Dan di balik tirai jendela kamarnya, bayangan gelap itu kembali muncul, kali ini dengan langkah lebih dekat, menunggu waktu yang tepat untuk bertindak.

Aurra terjaga sepanjang malam, mendengarkan setiap suara yang masuk ke telinganya dengan waspada. Bayangan pria misterius yang datang ke taman tadi malam terus terngiang dalam pikirannya, seolah membawa pesan sekaligus ancaman. Ia tahu, jalan yang akan ditempuhnya kini bukan lagi sekadar pencarian kebenaran biasa, tapi juga pertaruhan nyawa.

Pagi itu, Aurra terbangun dengan kepala berat dan rasa tegang yang masih menggelayuti hatinya. Di ruang tamu, Mira dan Reyhan sudah menunggunya, wajah mereka penuh kecemasan.

"Kamu siap?" tanya Mira tanpa basa-basi.

Aurra mengangguk. "Sudah tidak ada waktu untuk ragu."

Mereka bertiga duduk bersama, menyusun rencana untuk menuju kantor lama ayah Aurra, tempat yang disebut oleh pria itu sebagai kunci untuk mendapatkan bukti-bukti penting. Aurra membuka peta kota di layar ponselnya, menandai titik-titik yang akan mereka kunjungi.

Lihat selengkapnya