Pagi hari yang dingin itu membawa ketegangan yang berbeda bagi Aurra, Mira, dan Reyhan. Rencana sudah dirancang sedetail mungkin semalam, tapi setiap langkah di depan terasa penuh bahaya. Gudang rahasia yang disebut Reyhan memang bukan tempat biasa. Terletak di kawasan industri tua di pinggiran kota, bangunan besar itu berdinding beton kusam, dengan sedikit cahaya yang masuk.
Aurra menghela napas dalam-dalam ketika mereka berdiri di depan gerbang besi berkarat. "Kita harus pastikan tidak ada kamera pengintai," ucapnya pelan.
Mira mengeluarkan alat kecil dari tasnya, sebuah perangkat yang bisa memindai sinyal elektronik. Ia mengarahkan alat itu ke arah gerbang dan sekitar. "Ada tiga kamera di sisi utara dan satu di pintu masuk utama. Tapi ada celah kecil di samping yang tidak terpantau," katanya.
Reyhan segera memeriksa pintu samping yang sedikit terbuka. "Ini jalur kita masuk. Tapi hati-hati, bisa jadi jebakan."
Dengan hati-hati, mereka menyelinap masuk. Aroma debu dan karat memenuhi udara, diselingi bau minyak mesin yang tertinggal di sudut-sudut gudang. Di dalam, kegelapan hampir total, hanya sedikit cahaya yang masuk dari atap yang berlubang.
Aurra menyalakan senter kecil di ponselnya, menerangi lorong panjang yang dipenuhi kotak-kotak kayu dan drum bekas. "Kita harus cari ruang yang lebih besar. Biasanya ruangan utama ada di tengah gudang," bisiknya.
Langkah mereka berderap pelan, suara mereka nyaris tertelan kegelapan. Tiba-tiba, Mira berhenti dan mengangkat jari telunjuknya. "Dengar, ada suara suara langkah kaki. Sepertinya ada yang berpatroli."
Reyhan mengangguk, lalu menggerakkan tangan memberi isyarat agar mereka berhenti. Mereka merunduk di balik tumpukan kotak kayu, menunggu dengan napas tertahan. Langkah kaki itu makin dekat, dan Aurra bisa merasakan detak jantungnya yang kencang.
Sosok pria berpakaian hitam melintas, membawa senter. Aurra memperhatikan gerak-geriknya, tampak waspada tapi tidak curiga. Setelah pria itu berlalu, mereka melanjutkan perjalanan.
Setelah menelusuri beberapa lorong, mereka tiba di sebuah pintu baja yang terkunci rapat. "Ini dia ruang utama," kata Reyhan sambil mengeluarkan alat pembuka kunci yang dibawanya.
Beberapa menit terasa seperti jam, tapi akhirnya pintu terbuka dengan suara berderit. Mereka masuk ke dalam ruang besar yang dipenuhi meja-meja dan kursi, serta tumpukan dokumen di beberapa sudut. Di tengah ruangan, ada papan pengumuman besar yang penuh dengan foto dan peta yang terhubung oleh benang merah.
Aurra berjalan mendekat dan memperhatikan dengan seksama. "Ini... peta jaringan korupsi dan penyelundupan yang selama ini tersembunyi. Ada nama-nama pejabat, pengusaha, dan juga beberapa orang di badan hukum."
Mira mengangkat sebuah folder tebal berisi laporan keuangan yang dipalsukan. "Kalau kita bisa bawa semua ini keluar, bukti kita semakin kuat."
Reyhan menatap jendela kecil yang memperlihatkan cahaya senja yang mulai meredup. "Kita harus cepat. Mereka bisa kembali kapan saja."
Tiba-tiba, suara langkah kaki kembali terdengar, tapi kali ini lebih dekat. Mereka harus putuskan langkah cepat.
"Ada dua pilihan," Aurra berbicara cepat, "Kita bawa dokumen sebanyak mungkin sekarang, atau sembunyikan dan kembali malam nanti dengan persiapan lebih matang."
Mira menatap ke folder di tangannya. "Kalau kita bawa sekarang, risiko ketahuan lebih besar. Tapi kalau ditunda, bisa jadi kesempatan hilang."
Reyhan mengangguk, "Aku setuju dengan Mira. Kita sembunyikan dulu di ruangan ini, lalu kita buat rencana baru malam nanti."
Mereka mengumpulkan dokumen-dokumen penting dan menyusunnya rapi di sebuah kotak besar yang bisa ditutup rapat. Aurra memastikan kotak itu tersembunyi di balik tumpukan drum di sudut ruangan.
Saat mereka berusaha keluar, langkah kaki semakin cepat dan suara obrolan samar terdengar. Ketegangan naik mendadak.
"Kita harus sembunyi lagi!" bisik Aurra sambil menunjuk ke balik tumpukan kotak.
Mereka merunduk, jantung berdetak keras, dan berharap para penjaga tidak menemukan mereka.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti keabadian, suara langkah kaki menjauh dan ruangan kembali hening.
Aurra menghela napas lega. "Kita sudah dapat bukti penting. Tapi perjalanan kita belum selesai."
Mira tersenyum kecil, "Setidaknya sekarang kita punya pijakan yang lebih kuat."
Reyhan menatap keluar jendela, "Besok kita akan menghadapi pertarungan yang lebih berat. Tapi aku yakin, selama kita tetap bersama, kita bisa menembus kegelapan ini."
Malam itu, mereka keluar dari gudang dengan hati-hati, membawa harapan baru di dalam jiwa yang penuh luka tapi tetap berani. Langkah mereka menyusuri jalan berdebu, diselimuti kabut yang perlahan menghilang di bawah sinar bulan.
Aurra tahu, ini baru awal dari babak baru dalam perjuangan mereka—perjuangan yang akan menguji batas kesetiaan, keberanian, dan keyakinan pada kebenaran yang sesungguhnya.
Langkah kaki Aurra, Mira, dan Reyhan menyusuri jalanan berdebu menuju tempat pertemuan rahasia. Meski malam sudah mulai larut, udara tetap dingin dan menusuk kulit. Kabut tipis masih mengambang di antara lampu jalan yang redup, menambah kesan sunyi dan waspada di sekeliling mereka.
"Bagaimana perasaan kalian?" tanya Reyhan, memecah keheningan yang menegangkan.
Aurra menghela napas. "Campur aduk. Senang karena akhirnya dapat bukti, tapi takut juga kalau kita sudah mulai masuk ke dalam sarang singa."
Mira menunduk, "Kalau mereka tahu kita sudah berhasil mengambil dokumen itu, bisa-bisa kita langsung jadi target utama."
Reyhan mengangguk pelan. "Benar. Tapi itu risiko yang harus kita hadapi kalau ingin mengubah keadaan."
Mereka tiba di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, tempat yang sudah mereka sepakati untuk berkumpul. Di balik pintu kayu yang berderit, sudah menunggu beberapa orang yang siap mendengarkan laporan mereka.