Keesokan harinya, suasana markas terasa lebih tegang daripada biasanya. Aurra, Mira, dan Reyhan duduk mengelilingi meja dengan wajah penuh fokus, membahas informasi yang baru saja mereka dapatkan dari telepon misterius itu. Meski suara di ujung telepon itu samar dan penuh ketakutan, pesan yang disampaikan jelas menyimpan makna besar.
"Aku tidak bisa berhenti memikirkan siapa yang menelepon tadi," ujar Mira dengan nada cemas. "Apakah dia benar-benar teman atau malah bagian dari permainan musuh?"
Reyhan menggeleng. "Kalau memang musuh, kenapa harus memberi tahu kita? Biasanya mereka diam dan menyerang secara diam-diam."
Aurra menarik napas panjang dan menatap kedua rekannya. "Aku setuju dengan Reyhan. Ini mungkin seseorang yang punya alasan kuat untuk membantu kita. Kita harus menindaklanjuti. Tapi, bagaimana?"
Mira mengangkat bahu. "Kita mulai dari yang paling sederhana. Siapa yang bisa kita percaya saat ini? Kita perlu jaringan kontak yang kuat, orang-orang yang tidak terkontaminasi oleh pengaruh musuh."
"Dan juga kita perlu tahu keberadaan Rafi," tambah Aurra. "Dia kunci dari semua ini. Kalau dia masih hidup dan berusaha melindungi kita, kita harus menemukannya sebelum musuh bergerak lebih jauh."
Aurra lalu mengarahkan laptopnya ke peta digital yang sudah mereka buat. Titik-titik lokasi yang terkait dengan aktivitas Rafi sebelumnya tersebar di beberapa kota. Mereka menandai tiga lokasi yang terakhir diketahui ada aktivitas mencurigakan.
"Kita bagi tugas," ujar Aurra sambil menunjuk peta. "Aku akan ke Jakarta untuk bertemu dengan kontak lama yang mungkin tahu sesuatu tentang Rafi. Mira, kamu ke Surabaya. Di sana ada seseorang yang katanya melihat Rafi beberapa minggu lalu. Reyhan, kamu tetap di sini, pantau semua aktivitas digital. Kalau ada informasi baru, langsung kabari kami."
Mira mengangguk. "Baik. Semoga ini bukan jalan buntu."
Reyhan menatap layar laptopnya dan mulai mengetik cepat, memasang sistem pelacak baru yang lebih canggih. "Kita harus bergerak cepat. Musuh tidak akan menunggu."
Hari berganti, Aurra tiba di Jakarta. Kota besar yang penuh dengan hiruk-pikuk dan kerumitan yang tak pernah berakhir. Ia bertemu dengan seorang pria bernama Damar, seorang jurnalis investigasi yang pernah bekerja sama dengan Rafi dalam proyek rahasia yang sekarang menjadi pusat masalah mereka.
Damar menyambut Aurra dengan ramah, tapi matanya tetap waspada. "Aku dengar kamu mencari Rafi," katanya pelan, seolah takut didengar orang lain. "Aku juga ingin tahu keberadaannya. Tapi yang aku tahu, dia terlibat dengan sesuatu yang sangat berbahaya. Ada kekuatan besar yang mencoba membungkam semua orang yang tahu terlalu banyak."
Aurra mengangguk pelan. "Kami ingin membantunya. Tapi kami harus tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Damar menghela napas. "Rafi sempat memberi tahu aku tentang dokumen penting yang bisa mengguncang banyak pihak. Tapi dia juga bilang kalau nyawanya terancam. Aku khawatir dia sudah terjebak dalam pusaran yang sulit keluar."
Percakapan mereka terhenti sejenak ketika suara ponsel Damar berdering. Dia melihat layar lalu menatap Aurra dengan ekspresi serius. "Aku harus pergi. Tapi aku akan coba cari informasi lebih banyak untukmu."
Di Surabaya, Mira bertemu dengan seorang informan bernama Lila, yang mengaku pernah melihat Rafi bersembunyi di sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Lila adalah gadis muda yang penuh rasa ingin tahu dan berani, meski hidup dalam ketakutan.
"Rafi datang ke sini sekitar tiga minggu lalu," kata Lila. "Dia sangat takut dan menyebut ada orang-orang yang memburunya. Dia berjanji akan kembali, tapi sampai sekarang tidak ada kabar."
Mira mencatat semua informasi dengan seksama. "Apakah kamu tahu ke mana dia pergi setelah itu?"
Lila menggeleng. "Tidak. Tapi aku mendengar suara-suara tentang sebuah tempat rahasia yang digunakan oleh Rafi dan kelompoknya untuk menyimpan data penting."
Mira merasa ada titik terang. "Kamu harus hati-hati, Lila. Kalau kamu tahu sesuatu yang bisa membantu kami, jangan ragu untuk menghubungi."
Sementara itu, Reyhan terus mengawasi jaringan digital dari markas. Malam itu, dia menemukan jejak aktivitas yang mencurigakan dari IP address yang berhubungan dengan salah satu lokasi di peta mereka. Dengan cepat dia menghubungi Aurra dan Mira untuk memberi kabar.
"Kita dapat titik terang," katanya penuh semangat. "Ada seseorang yang mencoba mengakses data penting. Aku yakin ini bukan kebetulan."
Aurra dan Mira saling bertukar pandang, perasaan campur aduk antara harapan dan kekhawatiran.
Malam itu, Aurra duduk di balkon apartemennya, menatap langit kota yang penuh bintang. Pikiran tentang Rafi dan apa yang sedang mereka hadapi terasa sangat berat.
"Ini bukan hanya tentang kita," gumamnya. "Tapi tentang masa depan yang harus kami lindungi. Aku harus kuat, untuk dia, untuk kami semua."
Angin malam berhembus lembut, membawa harapan kecil yang masih tersisa di tengah kegelapan.
Keesokan paginya, Aurra menerima pesan singkat dari Mira yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat. "Aku dapat lokasi tempat rahasia itu. Surabaya. Kita harus segera ke sana, sebelum orang lain menemukannya." Pesan itu singkat tapi penuh urgensi.
Aurra segera menghubungi Reyhan. "Reyhan, siap-siap, kita akan ke Surabaya hari ini juga. Mira sudah menemukan petunjuk kuat tentang lokasi tempat rahasia itu."
Reyhan menjawab cepat, "Siap, aku pantau dari sini. Beri kabar kalau sudah di lokasi."
Setelah mengatur perjalanan, Aurra dan Mira bertemu di Stasiun Surabaya Gubeng. Wajah keduanya tampak tegang, seperti membawa beban besar yang harus segera mereka tangani. Mereka langsung menuju ke sebuah kawasan kumuh di pinggiran kota, tempat yang disebut Lila sebagai persembunyian terakhir Rafi.
"Ini dia," kata Mira sambil menunjuk ke sebuah rumah tua berwarna kusam, terletak di ujung gang sempit. "Katanya, Rafi pernah bersembunyi di sini."
Aurra mengangguk dan mengamati sekitar. Tidak ada aktivitas mencurigakan, hanya suara kehidupan biasa warga sekitar yang berlalu lalang.
Mereka melangkah pelan ke depan rumah, mencoba membuka pintu yang terlihat sudah lama tidak dipakai. Pintu terkunci rapat, tapi Mira membawa kunci cadangan yang didapat dari Lila.
Begitu pintu terbuka, udara pengap menyambut mereka. Dalam rumah kecil itu, mereka menemukan berbagai peralatan elektronik usang, tumpukan dokumen dan hard drive yang tersusun rapi di atas meja. Semuanya tampak seperti laboratorium kecil yang dirancang untuk penelitian rahasia.
"Ada jejak aktivitas terbaru," kata Aurra sambil menggeser-geser tumpukan dokumen. "Sepertinya Rafi memang mengerjakan sesuatu yang besar di sini."
Mira membuka salah satu hard drive menggunakan laptopnya, memperlihatkan data-data terenkripsi yang tidak mudah dibuka. "Aku akan coba mengakses ini di markas. Mungkin Reyhan bisa bantu."
Saat mereka sedang memeriksa isi rumah, suara langkah kaki terdengar dari luar. Mereka menegangkan tubuh, bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.