Keesokan paginya, suasana di vila terasa lebih serius. Aurra, Reyhan, dan Rafi duduk bersama di ruang tengah, menatap dokumen dan foto-foto yang dibawa Rian. Berkas-berkas itu menunjukkan bukti transaksi gelap yang melibatkan orang-orang kuat di balik layar, termasuk kelompok Malik.
"Apa kamu yakin ini asli?" tanya Reyhan sambil menggeser kaca matanya.
Rian mengangguk. "Aku sudah cek ulang. Semua data ini benar adanya. Aku bisa tunjukkan ke kamu bagaimana mereka mengalirkan uang haram itu lewat beberapa jalur yang sulit dilacak."
Aurra menghela napas dalam-dalam. "Kalau kita bawa ini ke pihak berwajib, mereka bisa langsung dibongkar. Tapi kita harus hati-hati, mereka juga pasti punya mata-mata di sekitar kita."
Rafi menambahkan, "Kita perlu strategi. Jangan sampai mereka tahu kita sudah dapat bukti ini."
Setelah rapat singkat itu, Aurra mengajak Rian berkeliling vila. "Aku ingin kamu kenal betul tempat ini. Kamu akan jadi bagian dari tim kami."
Rian tampak gugup tapi bersemangat. "Terima kasih, Aurra. Aku janji akan jujur dan bantu sebisa mungkin."
Ketika mereka berjalan melewati taman belakang, Aurra bertanya, "Apa kamu yakin tidak ada orang yang bisa dipercaya di kelompok Malik?"
Rian menggeleng pelan. "Tidak ada. Mereka sangat rapat dan penuh kecurigaan. Bahkan teman dekatku pun mulai berubah sikap sejak aku mulai meragukan mereka."
Aurra menatap mata Rian yang penuh ketulusan. "Kamu berani berkorban untuk kebenaran. Itu hal yang jarang."
Sementara itu, Reyhan dan Rafi bekerja keras mengatur sistem keamanan yang baru. Mereka menambahkan beberapa sensor gerak dan kamera dengan fitur pengenalan wajah.
"Kita harus buat mereka merasa seperti sedang diawasi 24 jam," kata Reyhan.
Rafi tersenyum, "Ini baru namanya perang modern. Bukan cuma otot, tapi teknologi juga harus diandalkan."
Aurra yang mengawasi dari dekat merasa sedikit lega. "Kalau kita sudah siap seperti ini, semoga mereka tidak bisa lagi sembunyi."
Di luar vila, Malik menerima laporan dari anak buahnya. "Mereka semakin pintar," gerutu Malik. "Kita harus cari cara lain. Aku tidak mau kalah karena sistem pengamanan yang canggih itu."
Seorang anak buah bernama Dimas mengusulkan, "Bagaimana kalau kita manfaatkan orang dalam yang sudah kita temui kemarin?"
Malik tersenyum tipis. "Baik. Pastikan dia tetap setia dan tidak ada yang tahu tentang rencana kita."
Hari-hari berlalu dengan ketegangan yang meningkat. Aurra mulai merasakan tekanan yang berat, bukan hanya dari ancaman luar, tapi juga dari dalam dirinya sendiri. Dia sering terjaga di malam hari, memikirkan masa depan dan apakah semua perjuangan ini akan membuahkan hasil.
Suatu malam, saat Aurra duduk di balkon vila sambil menatap bintang, Rian menghampirinya. "Aurra, aku ingin bicara."
Aurra menoleh, "Ada apa, Rian?"
"Aku dapat pesan dari seseorang yang mengatakan ada orang yang ingin menyusup ke dalam tim kita. Mungkin sudah ada yang membocorkan informasi," ujar Rian dengan nada serius.
Aurra terdiam sejenak. "Ini semakin rumit."
"Ya, tapi aku yakin kita bisa melewati ini jika tetap waspada," kata Rian.
Keesokan harinya, Aurra memanggil semua anggota tim untuk pertemuan darurat. "Kita harus lebih berhati-hati. Ada kemungkinan pengkhianat di antara kita."
Reyhan yang biasanya tenang tampak gelisah. "Kita harus evaluasi ulang setiap anggota, dan jangan percaya sembarangan."
Rafi menambahkan, "Aku akan pasang sistem pelacak di semua perangkat komunikasi kita. Kalau ada yang mencurigakan, kita langsung tahu."
Aurra mengangguk. "Ini bukan hanya soal keamanan fisik, tapi juga kepercayaan."
Sementara itu, di tempat tersembunyi, Malik mengamati pergerakan Aurra melalui sebuah monitor. "Mereka mulai sadar dan memperkuat pertahanan. Tapi aku punya kartu terakhir."
Dia mengambil sebuah amplop berisi dokumen penting. "Ini bisa membuat Aurra dan timnya hancur jika sampai bocor."
Di vila Aurra, malam tiba dengan suasana tegang. Aurra duduk di meja kerjanya, memeriksa data dan pesan yang masuk. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan anonim masuk, berisi ancaman halus.
"Kamu tidak akan bisa selamat dari ini. Semua rahasiamu akan terbuka."
Aurra menghela napas. "Mereka mulai bermain kotor."
Namun ia menatap langit malam dengan tekad kuat. "Aku masih bernapas. Aku masih bertahan."
Malam itu, suasana di vila terasa mencekam. Aurra menatap layar ponselnya yang masih menampilkan pesan ancaman itu. Hatinya berdebar, tapi ia berusaha menenangkan diri. Ia tahu perjuangan ini belum usai, bahkan justru semakin berbahaya. Namun, di balik ketakutan itu, ada tekad yang semakin membara untuk mengungkap kebenaran dan melindungi orang-orang yang ia sayangi.
Reyhan dan Rafi sudah menunggu di ruang kerja utama ketika Aurra turun dari kamarnya. Mereka berdua terlihat lelah, namun penuh kewaspadaan. "Ada apa, Aurra? Kamu kelihatan terganggu," tanya Reyhan sambil menyalakan lampu meja.
Aurra meletakkan ponsel di atas meja dan membagikan isi pesan itu kepada mereka. Rafi segera mengambil alih ponsel dan mulai melakukan analisis terhadap nomor pengirim dan jejak digital yang tersisa.
"Nomor ini sudah diacak sedemikian rupa, sulit dilacak," ujar Rafi sambil mengetik cepat di laptopnya. "Tapi kita bisa coba cari pola pesan serupa di beberapa sumber lain."
Reyhan mengangguk, lalu menatap Aurra dengan serius. "Ini jelas usaha untuk menggoyahkan mental kita. Kalau kita panik, mereka menang."
Aurra menghela napas, mencoba menguatkan dirinya. "Aku sudah lama tidak merasa takut seperti ini. Tapi aku sadar, ketakutan itu wajar, asal tidak membuat kita berhenti."
Rafi mengangkat jempolnya. "Itu semangat yang harus kita pertahankan. Aku akan tingkatkan keamanan siber kita, mulai dari perangkat komunikasi sampai jaringan internet."
Malam itu, Aurra tidak bisa tidur. Ia duduk di balkon, menatap langit gelap bertabur bintang, memikirkan siapa di antara mereka yang mungkin jadi pengkhianat. Bayangan keraguan menghantui pikirannya.
"Apa mungkin salah satu dari kita yang sudah lama bersamaku ternyata bekerja untuk Malik?" gumamnya pelan.