Still Breathing

Penulis N
Chapter #16

16

Hening dini hari menyelimuti vila setelah hari yang menegangkan. Namun, bagi Aurra dan timnya, tidak ada waktu untuk bersantai. Informasi dari USB milik Nadine membuka babak baru: sebuah transaksi misterius yang akan terjadi di pelabuhan lama dengan kode "Langit Merah."

Aurra duduk di depan papan putih besar di ruang kerjanya, menggambar peta pelabuhan dan sekitarnya. Reyhan dan Rafi berdiri di sampingnya, memperhatikan garis-garis yang ditarik Aurra membentuk pola rute.

"Ini bukan sekadar pelabuhan biasa," ujar Aurra, menunjuk pada area gudang tua yang kini digunakan sebagai jalur penyelundupan barang ilegal. "Tempat ini dulu dikuasai polisi laut, tapi sejak tiga tahun terakhir jadi sarang para sindikat. Termasuk milik Malik."

Reyhan mengangguk. "Kita butuh mata-mata lokal yang tahu medan. Kita tak bisa masuk begitu saja."

Aurra mengangguk. "Aku tahu seseorang."

Dua jam kemudian, di sebuah warung kopi pinggir jalan yang hanya buka saat malam, seorang pria berjaket jeans dan topi lusuh duduk sendirian. Tatapannya tajam, tubuhnya kekar, dan di balik tatapan dinginnya tersembunyi kecerdasan yang terasah oleh dunia bawah tanah.

Namanya Jaka, mantan informan kepolisian yang kini bekerja lepas. Aurra menghampirinya, menyapa tanpa banyak basa-basi.

"Kau butuh panduan atau perlindungan?" tanya Jaka, langsung ke intinya.

"Keduanya," jawab Aurra. "Kami butuh akses ke pelabuhan lama. Ada transaksi dalam waktu tiga hari. Kami harus ada di sana lebih dulu."

Jaka tersenyum tipis. "Kalian terlambat. Tiga hari lagi pelabuhan akan penuh. Orang-orang Malik sudah mulai bergerak sejak minggu lalu. Mereka tidak hanya pindahkan barang, tapi juga orang."

Rafi yang ikut bersama mereka mencondongkan badan. "Orang?"

"Mereka bawa seseorang dari luar negeri, dibilang penting. Tapi tak ada yang tahu siapa. Rumor bilang... bukan cuma soal uang. Ada rahasia yang sedang dijaga."

Aurra langsung teringat pada frasa 'Langit Merah'. Ia yakin itu bukan hanya kode acak. "Kami butuh masuk sebelum itu semua terjadi."

Jaka menatap mereka serius. "Kalau begitu, kalian harus siap kehilangan nyawa. Pelabuhan lama bukan tempat main-main."

Malam berikutnya, persiapan dilakukan diam-diam. Aurra membagi tim ke dalam dua kelompok. Rafi dan Jaka akan menyusup lewat jalur air menggunakan perahu kecil, sementara Reyhan dan satu teknisi akan memasang alat pengintai dari atap salah satu gudang tua.

"Kalau kau melihat tanda ini," kata Reyhan sambil menggambar X merah di peta, "berarti mereka sedang bongkar barang. Jangan dekati kecuali kita beri sinyal."

Aurra sendiri akan menjadi koordinator pusat di vila, memantau pergerakan lewat koneksi langsung dari drone dan kamera. Ia juga menjalin komunikasi langsung dengan pihak yang dulu pernah membantu keluarganya, sekutu lama yang pernah berurusan dengan Malik.

Saat malam tiba, langit tampak mendung dengan semburat kemerahan di ufuk barat. Bagi mereka yang tahu, itu adalah pertanda. Pertanda bahwa "Langit Merah" bukan hanya metafora — tapi simbol dari transaksi gelap yang mengalir dalam darah para penjahat di pelabuhan tua.

Rafi dan Jaka mendayung dalam senyap. Air laut malam itu tenang, namun ketenangan itu menipu. Gudang-gudang tua sudah menyala dengan lampu sorot. Beberapa orang bersenjata mondar-mandir, mengawasi sekeliling. Salah gerak sedikit saja, mereka bisa ditembak.

"Lihat itu," bisik Jaka sambil menunjuk ke arah kapal besar yang bersandar. "Itu bukan kapal barang biasa."

Kapal itu tampak terawat dan bersih, dengan lambang perisai berwarna hitam di haluan — simbol organisasi internasional bawah tanah yang selama ini hanya disebut dalam laporan rahasia.

"Dugaanku benar," gumam Rafi. "Ini lebih besar dari sekadar penyelundupan biasa. Mereka sedang mengangkut orang penting... atau sesuatu yang lebih rahasia."

Dari atap gudang, Reyhan membidikkan kamera ke arah dek kapal. Ia memperbesar gambar dan merekamnya.

"Aurra, kau harus lihat ini," ucapnya lewat earpiece.

Di layar monitor vila, Aurra menatap wajah seseorang yang turun dari kapal, dikelilingi empat orang bersenjata. Seorang pria tua berkacamata dengan bekas luka di pipi.

Aurra terdiam sejenak. "Itu... Dr. Emil Rahardian."

Rafi menyela, "Siapa dia?"

"Ahli senjata biologis yang menghilang lima tahun lalu. Banyak yang mengira dia mati. Tapi jika dia ada di sana... itu berarti—"

"—Malik sedang membangun sesuatu yang lebih dari sekadar kekuasaan," Reyhan menyelesaikan kalimatnya dengan nada cemas.

Pelabuhan tua malam itu bukan hanya tempat transaksi. Ia adalah panggung bagi konspirasi besar yang akan mengguncang tatanan. Dan satu hal pasti — Aurra dan timnya harus menghentikannya sebelum "Langit Merah" benar-benar berubah menjadi pertumpahan darah.

Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah alam pun menyadari sesuatu yang besar sedang terjadi. Di ruang pusat pemantauan yang dibangun di bawah tanah vila, Aurra duduk menatap lima layar yang memancarkan gambar dari berbagai sudut pelabuhan lama. Wajahnya tegang, matanya tak berkedip.

Di layar kanan atas, Reyhan sedang menyusup perlahan di atap gudang, memasang alat perekam suara tambahan. Di layar kiri, Rafi dan Jaka berlindung di balik tumpukan kontainer, mengamati lalu lintas orang-orang bersenjata yang sibuk memindahkan peti-peti besar ke dalam truk.

"Kalian hanya punya waktu maksimal satu jam sebelum rotasi penjaga berubah," suara Aurra terdengar di earphone mereka. "Setelah itu, kita keluar sebelum jejak kita tercium."

"Salin," jawab Rafi singkat.

Dari balik kegelapan, Jaka menunjuk salah satu peti yang dimasukkan ke dalam truk. "Lihat simbol itu. Kepala serigala dengan dua mata merah."

Reyhan yang juga melihatnya melalui teropong menghela napas. "Itu simbol Valken. Kelompok tentara bayaran dari Eropa Timur. Kalau mereka yang ikut main... ini sudah bukan sekadar penyelundupan. Ini semacam operasi militer bayangan."

Aurra mencatat informasi itu dengan cepat. "Apakah ada tanda bahwa Dr. Emil akan dibawa keluar malam ini?"

"Belum jelas," jawab Reyhan. "Tapi pengawalnya tidak seperti yang biasa. Mereka terlihat... terlalu disiplin. Seperti bekas tentara."

Lalu layar tengah atas menampilkan gambar yang membuat napas Aurra tercekat. Sebuah mobil lapis baja hitam masuk ke pelabuhan. Dari dalamnya, keluar sosok yang membuat darahnya berdesir dingin — Malik.

Meskipun hanya terlihat sekilas, tak mungkin salah. Tubuh tinggi besar, rambut perak tipis, dan sikap penuh wibawa yang menakutkan. Ia berjalan menuju kapal tempat Dr. Emil diturunkan sebelumnya, diikuti dua pria kekar.

"Malik ada di sana. Ini lebih berisiko dari yang kita duga," kata Aurra, suaranya menegang.

Reyhan langsung merapat ke dinding gudang. "Kita bisa buat satu penyadap suara lebih dekat ke markas itu. Tapi kita harus lewat sisi barat, dan itu artinya... melewati zona terbuka."

"Itu bunuh diri," potong Jaka. "Tapi kalau kita tidak ambil risiko, kita tidak akan pernah tahu rencana mereka."

Aurra berpikir cepat. "Reyhan, pastikan jalurmu aman. Rafi dan Jaka, kalian tetap di posisi. Fokus pantau pergerakan truk dan coba identifikasi plat nomor."

Reyhan menyusup ke sisi barat gudang dengan langkah perlahan. Ia harus merangkak di sepanjang pipa tua, menyeberang lewat palka besi, dan kemudian memanjat pagar berkarat. Di balik pagar, ia menemukan celah ke ruang kontrol pelabuhan yang sudah lama ditinggalkan.

Lihat selengkapnya