Still Breathing

Penulis N
Chapter #17

17

Langkah-langkah mereka menyusuri koridor bawah tanah begitu pelan namun tegas. Suasana di fasilitas itu terasa seperti dunia lain: hening, namun mengandung kengerian tersembunyi. Anwar memimpin mereka melalui lorong-lorong yang bercabang seperti labirin, sesekali berhenti untuk mengecek monitor kecil yang ia bawa. Di layar kecil itu tampak peta digital bangunan, dengan titik-titik merah yang bergerak perlahan.

"Itu penjaga?" tanya Jaka berbisik.

Anwar mengangguk. "Mereka patroli bergilir tiap sepuluh menit. Kalau kita mau menyelinap, waktunya sekarang."

Mereka menunggu hingga titik-titik merah menjauh, lalu bergegas ke ruang kontrol. Anwar mengakses sistem dengan kode yang masih ia hafal dari masa lalu. Dalam hitungan detik, layar-layar monitor menyala, menampilkan berbagai ruangan dalam kompleks itu. Beberapa di antaranya kosong, tapi satu layar menarik perhatian mereka semua.

Ruangan itu sempit, dengan pencahayaan remang. Di tengahnya, seorang gadis duduk membelakangi kamera, tangan dan kakinya dirantai ke kursi logam. Rambut panjangnya terurai kusut, dan tubuhnya tampak lunglai.

"Itu dia..." gumam Aurra, matanya memanas. "Itu Nadine."

Reyhan menatap layar itu lama. Ada getar emosi yang tak bisa ia sembunyikan. "Di mana ruangan itu?"

"Blok Delta, dua lorong ke kiri dari sini, lalu turun satu tingkat," jawab Anwar.

Tanpa menunggu lebih lama, mereka meninggalkan ruang kontrol. Jaka memeriksa senjatanya—pistol berperedam yang ia sembunyikan dalam jaket. "Kalau ada yang halangi kita, kita lumpuhkan diam-diam."

Anwar tersenyum miris. "Kalian mulai mirip aku dulu."

Reyhan menatap pria itu. "Perbedaan kita—kami takkan biarkan diri kami berubah jadi mereka."

**

Sesampainya di Blok Delta, suasana berubah semakin mencekam. Tidak ada lagi suara, tidak ada penjaga. Seolah tempat itu sengaja dikosongkan. Reyhan merasakan firasat tak enak, tapi dia tetap maju.

Pintu ruang tahanan Nadine terkunci secara manual. Jaka menjepitnya dengan alat pembuka pintu portabel. Dalam waktu dua menit, kunci terbuka, dan mereka masuk dengan napas tertahan.

"Nadine?" Aurra berbisik.

Gadis itu tak menjawab.

Reyhan mendekat perlahan, menyentuh bahunya. "Nadine... ini kami."

Perlahan, gadis itu menoleh. Matanya merah, wajahnya pucat, dan sorot matanya kosong. Tapi ketika dia melihat Reyhan, ada kilatan pengenalan di sana.

"Rey...han?" suaranya parau.

Reyhan berlutut dan memegang tangannya. "Kami datang untuk menjemputmu."

Air mata mengalir dari mata Nadine. "Mereka... menyuntikiku sesuatu. Aku tak bisa membedakan mimpi dan nyata lagi..."

"Kau akan baik-baik saja. Kami di sini sekarang," kata Aurra, memotong rantai di tangan gadis itu.

Namun begitu rantai kaki dilepas, Nadine mendadak menegang.

"Tunggu... ada... jebakan."

Terlambat. Sirene mendadak meraung, dan lampu darurat menyala. Suara berat terdengar dari speaker.

"Aku tahu kalian akan datang."

Mereka semua menoleh ke langit-langit, ke arah suara yang sudah tak asing—Dr. Emil.

"Hebat. Sangat hebat. Bahkan Anwar kembali dari kubur untuk bergabung dengan kalian."

"Emil!" Anwar berteriak. "Hentikan ini! Proyekmu akan menghancurkan lebih banyak orang!"

"Tentu saja," jawab Emil enteng. "Tapi kehancuran adalah harga untuk pencapaian besar. Dan Nadine... dia adalah mahakaryaku."

Pintu ruangan tertutup otomatis. Jaka bergegas mencoba membukanya, tapi tak berhasil.

"Aku sudah perkirakan semua ini. Tapi jangan khawatir, aku takkan membunuh kalian. Kalian terlalu berharga. Terutama Reyhan."

Reyhan mengepalkan tangan. "Apa maksudmu?"

"Kau lupa siapa dirimu sebenarnya, Reyhan. Tapi tenang saja. Segera, kau akan ingat segalanya."

Tiba-tiba, gas berwarna putih keluar dari sudut ruangan. Anwar menutup hidung, tapi tubuhnya mulai limbung. Aurra dan Jaka terbatuk, mencoba bertahan.

Nadine memeluk Reyhan erat. "Jangan lepas aku. Jangan biarkan aku kembali ke kegelapan itu."

Reyhan memeluknya, menahan napas, matanya mulai kabur.

Dalam kabut yang menebal, suara Emil terdengar sayup-sayup.

"Selamat datang di akhir permainan. Atau... awal dari permainan yang baru."

Lalu semuanya menjadi gelap.

Ketika Reyhan membuka mata, yang pertama ia sadari adalah keheningan. Tidak ada suara sirene. Tidak ada suara langkah kaki atau teriakan. Hanya keheningan yang membentang seperti selimut tebal yang menyesakkan dada. Pandangannya masih kabur, tetapi cahaya redup dari lampu fluoresen di langit-langit mulai membentuk bayangan dan kontur ruangan tempat ia berada.

Ia duduk perlahan, menahan nyeri di kepala. Ruangan itu tampak seperti kamar isolasi, tanpa jendela, hanya dinding putih polos dan sebuah kamera kecil di sudut langit-langit. Ia mengenali tempat ini. Atau... lebih tepatnya, sesuatu dalam dirinya ingin mengenalinya. Seperti bayangan samar yang pernah ia lihat dalam mimpi buruk.

Langkah Reyhan goyah saat ia mencoba berdiri. Kepalanya terasa berat, pikirannya kabur. Namun satu hal jelas dalam benaknya—Nadine. Dia harus menemukan Nadine.

"Hallo?" suaranya serak, bergetar, tapi tak ada yang menjawab. Ia menghampiri pintu, menekannya, menggedor, tapi tetap tertutup rapat.

Lalu terdengar suara dari speaker kecil di atasnya.

"Kau terbangun lebih cepat dari yang kami perkirakan."

Lihat selengkapnya