Still Breathing

Penulis N
Chapter #20

20

Malam itu, api unggun berpendar hangat di tengah perkemahan kecil mereka. Namun, kehangatan itu tak mampu mengusir kegelisahan yang bersemayam di hati Dira dan teman-temannya. Setiap bayangan terasa seperti ancaman yang mengintai, setiap suara angin membawa desiran ketakutan.

Dira memandang peta yang terhampar di atas batu besar. Garis-garis rute yang ditandai Alya berkelok melewati hutan dan perbukitan, menuju kota tua yang sudah lama ditinggalkan. Kota itu menjadi pusat kendali proyek 'Rebirth', tempat di mana semua data dan teknologi diatur.

"Alya, apa kamu yakin dengan rute ini? Aku tidak mau kalau kita malah tersesat atau terjebak di tengah jalan," tanya Dira dengan suara serius.

Alya mengangguk, matanya tak lepas dari layar laptop yang sudah terisi dengan peta digital. "Aku sudah cek ulang beberapa kali, dan aku juga dapat informasi tambahan dari kontak di daerah itu. Jalur ini memang yang paling aman dan cepat, meskipun masih penuh risiko."

Reyhan menggosok dagunya. "Kita juga harus hati-hati dengan patroli mereka. Setelah ledakan tadi, aku yakin mereka akan memperketat penjagaan."

Maya mengangguk. "Benar, kita harus bergerak cepat tapi juga harus waspada. Kalau bisa, kita menghindari kontak langsung."

Suasana menjadi serius ketika masing-masing mulai membayangkan bahaya yang akan mereka hadapi. Tapi mereka tahu, kalau tidak melangkah sekarang, tidak akan ada harapan untuk menghentikan proyek kejam itu.

"Baiklah, kita berangkat besok pagi," Dira memutuskan. "Istirahat cukup malam ini, kita akan butuh tenaga penuh."

Pagi berikutnya, udara dingin menyambut langkah mereka saat meninggalkan perkemahan. Mereka berjalan beriringan, dengan perlengkapan seadanya, membawa bekal dan alat komunikasi seadanya. Setiap suara daun yang terinjak, setiap hembusan angin, terasa menggetarkan saraf mereka.

Dira berjalan di depan, sesekali berhenti untuk mengamati sekeliling. "Jangan terlalu jauh," ia memberi peringatan. "Kita harus tetap dalam jarak pandang."

Maya dan Alya berjalan berdampingan, berusaha menjaga semangat meskipun rasa takut dan lelah mulai menghampiri. Reyhan berada di belakang, mengawasi dari belakang dan siap menghadapi kemungkinan terburuk.

"Lihat itu!" suara Alya tiba-tiba membuat semua terdiam. Di antara rerimbunan pepohonan, mereka melihat sebuah sosok yang sedang mengawasi dari kejauhan.

"Musuh?" tanya Reyhan dengan nada waspada.

Dira segera menyembunyikan diri di balik pohon besar. "Tidak, tunggu. Aku mengenalinya."

Sosok itu perlahan mendekat, dan ternyata adalah Arman, pria yang kemarin memberi mereka informasi penting.

"Kalian sudah siap?" tanya Arman pelan, wajahnya menunjukkan ketegangan yang sama.

Dira mengangguk. "Kami siap. Tapi kami butuh lebih banyak informasi tentang kota tua dan sistem pengamanan di sana."

Arman menarik napas dalam-dalam. "Kota tua memang sudah lama ditinggalkan, tapi mereka membangun sistem pertahanan otomatis yang sangat canggih. Kamera, sensor gerak, dan robot patroli. Kalian harus berhati-hati."

"Apakah ada jalur rahasia atau pintu masuk tersembunyi?" tanya Maya.

Arman mengangguk. "Ada satu pintu bawah tanah yang hanya diketahui beberapa orang. Aku akan tunjukkan pada kalian. Tapi kalian harus cepat. Mereka mungkin sudah menyadari ledakan tadi dan memperkuat penjagaan."

Mereka mengikuti Arman menuju sebuah gua kecil tersembunyi di balik semak-semak. Di dalam gua itu, lorong sempit mengarah ke bawah tanah. Udara terasa lembap dan dingin, suara tetesan air menggema di antara dinding batu.

"Ini jalur yang akan membawa kalian ke dalam kota tua tanpa terdeteksi," ujar Arman.

Dira, Maya, Alya, dan Reyhan merasakan campuran antara harapan dan kecemasan. Ini adalah kesempatan terbaik mereka untuk mengakhiri semua ini, tapi juga jalan yang penuh bahaya.

Mereka mulai merangkak masuk ke dalam lorong. Di sepanjang jalan, dinding batu berlumut dan akar-akar pohon menembus celah-celahnya. Suara napas mereka bergema pelan, menyatu dengan suara alam bawah tanah.

Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di sebuah pintu besi tua yang hampir tersembunyi di balik semak dan tanah. Arman mengambil kunci kecil dari dalam tasnya dan membuka pintu itu perlahan.

"Kita sudah di dalam," katanya.

Mereka melangkah keluar ke sebuah halaman kecil yang dulunya mungkin adalah pusat administrasi kota tua itu. Gedung-gedung kosong berbaris rapi di sekeliling mereka, dengan jendela-jendela yang pecah dan cat yang terkelupas.

Namun di tengah halaman itu, sebuah menara tinggi berdiri kokoh, dengan antena dan lampu-lampu kecil yang masih menyala redup.

"Menara itu adalah pusat kendali," Arman menunjuk. "Di sana tempat semua data dan teknologi terhubung."

Dira menatap menara itu dengan tatapan penuh tekad. "Kita harus ke sana. Kita harus matikan sistem itu."

Maya mengeluarkan alat komunikasi yang sudah mereka siapkan. "Kita bagi tugas. Aku dan Alya akan coba tembus ke dalam menara. Dira dan Reyhan akan menjaga pintu masuk dan siap siaga."

Rencana sederhana, tapi penuh risiko.

Mata mereka bertemu, saling memberi semangat tanpa kata. Ini adalah perjuangan mereka untuk masa depan yang bebas dari bayang-bayang masa lalu.

Dengan langkah mantap, mereka mulai mendekati menara itu, mengetahui bahwa di balik dinding tua itu, masa depan banyak orang tergantung pada keberanian mereka.

Dira dan Reyhan bergerak dengan cepat dan waspada menuju pintu masuk utama menara kendali. Derap langkah kaki mereka terdengar lembut di atas lantai beton yang retak-retak, sementara bayangan mereka menari di dinding berlumut yang tinggi. Keduanya membawa perlengkapan seadanya—senjata ringan yang mereka temukan dari sisa-sisa peralatan yang ditinggalkan dan alat komunikasi sederhana untuk berhubungan dengan Maya dan Alya.

"Reyhan, kita harus cepat. Aku khawatir mereka bisa mengirim bala bantuan kapan saja," ujar Dira dengan suara rendah.

Reyhan mengangguk. "Aku mengerti. Tapi jangan lupa, kita juga harus berhati-hati. Sistem pertahanan di sini bisa aktif kapan saja."

Mereka melangkah ke dalam bangunan menara yang gelap dan dingin. Bau debu dan logam berkarat menyelimuti udara. Suara-suara elektronik berdesis samar dari dalam ruang kendali yang jauh di atas sana. Tangga logam berputar membawa mereka naik satu demi satu lantai menuju pusat kendali.

Sementara itu, di sisi lain menara, Maya dan Alya menyelinap melalui koridor sempit yang dipenuhi kabel-kabel dan panel-panel kontrol. Alya dengan cekatan menelusuri layar tablet yang dibawanya, mencoba mencari celah keamanan untuk membobol sistem kendali.

"Kita harus temukan server utama, kalau kita bisa mengaksesnya, kita bisa mematikan sistem ini sekaligus," bisik Alya.

Maya mengangguk, matanya tetap waspada mengawasi pintu dan sudut-sudut gelap yang mungkin menjadi tempat musuh bersembunyi.

Langkah mereka terhenti sejenak ketika mendengar suara mekanik berdecit dan kemudian gema langkah robot patroli yang mendekat. Maya dan Alya cepat-cepat bersembunyi di balik sebuah panel besar.

"Robot patroli," bisik Maya. "Kita harus tunggu sampai dia lewat."

Robot berwarna abu-abu dengan lampu merah menyala itu melintas tanpa memperhatikan mereka. Begitu jaraknya cukup jauh, Alya segera mengambil tindakan. Dengan jari-jari gesit, dia mengakses terminal dan memasukkan kode khusus yang dia peroleh dari Arman.

Lampu di terminal berubah dari merah ke hijau, menandakan sistem pengamanan tertentu sedang dimatikan.

Lihat selengkapnya