Still Breathing

Penulis N
Chapter #21

21

Keesokan paginya, markas pemberontak masih diselimuti suasana waspada. Semua anggota bergerak dengan lebih hati-hati, menyadari bahwa ancaman bukan hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam. Dira menatap tajam layar monitor di ruang komando, mencoba menyusun strategi demi menghadapi musuh yang semakin licik.

"Reyhan, aku butuh daftar lengkap anggota yang ada di markas selama dua minggu terakhir," perintah Dira dengan suara tegas. "Kita harus mencari tahu siapa yang bersekongkol dengan pria bertopeng itu."

Reyhan langsung mengangguk, segera mengetik di terminalnya. "Aku akan minta tim intelijen untuk menyisir ulang semua rekaman pengawasan dan log komunikasi. Tidak ada yang bisa lolos dari pengamatan kami."

Sementara itu, Maya memeriksa persediaan medis dan peralatan komunikasi, memastikan semuanya siap jika terjadi keadaan darurat. Namun, matanya yang biasanya tenang tampak penuh kekhawatiran.

"Dira, aku merasa ini lebih berbahaya dari yang kita kira," ucap Maya pelan. "Kalau pengkhianatnya sudah ada di sini, dia bisa mengancam keselamatan kita kapan saja."

Dira mengangguk, menenangkan Maya. "Kita harus tetap fokus. Kecurigaan tanpa bukti hanya akan membuat kita kehilangan waktu."

Di sudut lain markas, Arman dan beberapa anggota intelijen mulai menelaah data yang dikumpulkan. Mereka menyisir rekaman video dan catatan komunikasi, memperhatikan setiap detail kecil yang mungkin luput dari perhatian.

"Ada satu nama yang muncul berulang kali dalam pesan-pesan terenkripsi," kata Arman sambil menunjuk layar. "Namanya Yusuf. Dia terlihat sering mengirim data ke alamat yang tidak dikenal."

Reyhan menatap layar dengan serius. "Yusuf... bukan anggota lama, tapi cukup dipercaya selama beberapa bulan terakhir. Aku tidak menyangka dia bisa berkhianat."

Dira langsung memerintahkan untuk memanggil Yusuf. Ketika pria itu tiba, wajahnya tampak tenang, namun ada kilatan gugup di matanya.

"Yusuf, kami butuh penjelasan," kata Dira lugas. "Apakah kau pernah berkomunikasi dengan musuh?"

Yusuf menggeleng pelan. "Tidak, aku loyal pada perjuangan ini."

Namun, saat Dira memperlihatkan bukti rekaman komunikasi, wajah Yusuf berubah pucat. Dia terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.

"Aku... aku dipaksa," akhirnya dia mengaku. "Mereka punya keluargaku. Aku tidak punya pilihan."

Pengakuan Yusuf mengguncang markas pemberontak. Dira tahu, ini bukan hanya soal satu orang, tapi gambaran tentang betapa dalamnya jaringan musuh menembus kehidupan mereka.

"Kita harus segera menyelamatkan keluargamu," kata Dira dengan tegas. "Jika mereka menjadi sandera, kita bisa membebaskan mereka sekaligus memutus rantai pengkhianatan ini."

Arman dan Reyhan segera merancang misi penyelamatan. Mereka harus bertindak cepat sebelum musuh menyadari Yusuf sudah berkhianat.

Malam tiba, suasana markas dipenuhi kecemasan dan ketegangan. Dira mengumpulkan beberapa anggota terbaik untuk misi rahasia itu.

"Ini misi berbahaya," kata Dira. "Tapi kita tidak punya pilihan. Kita harus membebaskan sandera dan mengungkap jaringan musuh sampai ke akar-akarnya."

Saat tim bergerak keluar markas, Dira menatap langit malam yang gelap. Bayangan masa lalu dan pengkhianatan yang menghantui semakin terasa berat di pundaknya. Namun tekadnya untuk melindungi teman-teman dan masa depan mereka membuatnya tetap kuat.

Dalam kegelapan, tim pemberontak menyelinap melewati patroli musuh yang semakin ketat. Setiap langkah penuh risiko, namun mereka tahu kegagalan bukan pilihan.

Setibanya di lokasi sandera, mereka menemukan sebuah bangunan tua yang dijaga ketat. Dira mengatur strategi, memanfaatkan pengetahuan medan yang diperoleh dari Yusuf.

"Arman, kau dan Maya masuk dari pintu belakang," instruksi Dira. "Reyhan dan aku akan mengalihkan perhatian penjaga."

Pertempuran kecil pecah di sekitar bangunan. Suara tembakan dan ledakan mengisi udara malam. Dengan kerja sama yang solid, tim berhasil menembus pertahanan musuh dan menemukan keluarga Yusuf yang ketakutan.

Saat mereka berusaha keluar, ledakan besar mengguncang bangunan. Suara runtuhan dan debu memenuhi udara. Dira memimpin evakuasi dengan sigap, memastikan semua anggota dan sandera keluar dengan selamat.

Namun, di balik keberhasilan ini, Dira sadar bahwa ancaman sebenarnya masih menunggu di depan. Jaringan musuh yang lebih besar dan lebih berbahaya belum terungkap sepenuhnya.

"Kita berhasil menyelamatkan mereka, tapi ini baru permulaan," gumam Dira pada dirinya sendiri saat menatap cakrawala gelap.

Bayangan masa lalu, pengkhianatan, dan perang yang belum usai—semua menuntut keberanian dan pengorbanan yang lebih besar.

Dira duduk di ruang komando yang mulai sepi setelah timnya kembali dari misi penyelamatan. Tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya berkecamuk. Semua yang terjadi selama beberapa hari terakhir semakin mengaburkan batas antara musuh dan teman, antara kebenaran dan pengkhianatan.

Dia menatap layar monitor yang menampilkan wajah Yusuf dan keluarganya yang kini berada dalam perlindungan markas. Meski lega melihat mereka selamat, ada sesuatu yang masih mengganjal di benaknya.

"Kenapa Yusuf tidak langsung melapor kalau dia dipaksa? Kenapa menunggu sampai nyawa keluarganya benar-benar terancam?" pikir Dira. Keraguan mulai merayapi hati kecilnya.

Reyhan yang masuk membawa kopi, duduk di samping Dira. "Kita harus beri dia waktu, Dira. Tekanan psikologis bisa membuat seseorang terjebak dalam kebisuan. Kita juga harus siap waspada kalau ada jebakan."

Dira mengangguk pelan, lalu membuka pesan-pesan terenkripsi yang baru saja diterima dari jaringan intelijen. Sebuah nama lama muncul di daftar pengirim: Alif.

Alif adalah sahabat sekaligus mentor Dira dalam perjuangan ini. Namun, sejak beberapa bulan terakhir, kontak dengannya menjadi sporadis, dan kabar terakhir yang diterima adalah bahwa Alif sedang menyelidiki jaringan musuh dari dalam.

Dira mengirim pesan singkat dengan hati-hati, menunggu balasan yang tidak kunjung tiba. Perasaan gelisah mulai tumbuh, mengingat segala kemungkinan buruk yang bisa menimpa Alif.

Malam semakin larut saat Dira memutuskan untuk mengunjungi ruang arsip rahasia. Ia perlu mencari petunjuk lebih lanjut tentang jaringan musuh yang semakin rapat mengepung mereka.

Sambil menelusuri tumpukan dokumen yang berdebu, Dira menemukan sebuah file yang menyimpan nama-nama dan kode operasi musuh—beberapa di antaranya berkaitan dengan serangan yang baru terjadi di markas mereka.

Di balik nama-nama itu, sebuah pola mulai terbentuk. Ada keterkaitan antara kelompok musuh dan orang-orang yang pernah Dira percayai di masa lalu.

Seketika, kenangan lama menghampiri. Saat masih menjadi anggota unit intelijen resmi sebelum bergabung dengan pemberontak, Dira pernah merasakan bagaimana sistem yang korup dapat menjebak orang baik menjadi pion-pion dalam permainan politik gelap.

Keesokan harinya, Dira memanggil Yusuf untuk berbicara lebih serius. Mereka bertemu di ruang kecil yang terisolasi dari keramaian markas.

Lihat selengkapnya