Aku tak keluar dari kamar sejak hari pengakuanku pada keluargaku. Aku benar-benar ingin menghindari Ayahku, sungguh. Aku malu juga takut, tapi aku juga penasaran apa yang akan dilakukan Ayahku.
Sampai pada sore ini, Ibuku masuk ke kamarku setelah mengetuk pintuku berkali-kali.
“Ibu sudah bilang sama Ayah, kalau kita bakal ke rumah pacarmu!...” Katanya. Aku tau, masih ada jejak airmata di ujung matanya.
“...Bilang sama ibu dimana rumahnya!” Tanyanya lagi.
Aku memberengut manja, menenggelamkan wajahku di pahanya dan kembali menangis keras.
“Dia tidak menginginkannya bu!! Dia tak mau bersamaku, dia tak mau bertanggungjawab. Aku harus apa?!” aku menangis terisak.
“Astagfirullah!! Bagaimana bisa kamu begini Rinaaa!”
Ibu langsung memukuli pundak dan lenganku, dia menangis begitu juga denganku.
“..Kenapa kamu melakukan ini? Apa kamu tidak pernah memikirkan resiko yang harus kamu tanggung?”
Aku tak menjawab. Tangisanku makin keras.
***
Hari berikutnya, aku bersiap pergi kesana dengan keluargaku. Tak ada kata yang keluar dari mulut Ayahku, beliau juga sama sekali tak memandangku. Aku benar-benar semakin merasa bersalah, tapi aku lega karena Ayah dan ibuku setidaknya tak memintaku menggugurkannya.
Kini, aku dan keluargaku sudah duduk dihadapan keluarga Jun. Ada ayah dan ibunya juga kakaknya. Aku diam ketika Ayahku mulai bicara tentang kehamilanku. Wajahnya sudah pucat pasi, entah kenapa rasanya sekarang aku seperti seorang kriminal. Aku takut.
“Enggak!! Aku masih muda, Ma! Aku mau kuliah! Belum kerja! Bagaimana bisa aku menikah?” Jun berdiri.
Plaaakk!!
Papa Jun menamparnya, sedang ayah dan ibuku hanya menunduk. Aku tau mereka menahan malu, sedang aku masih asyik dengan tangisku.
“Siapa yang menyuruhmu menghamili gadis ini, hah?!! Kamu harusnya tau konsekuensinya, Jun!!...”
“....Malu papa punya anak sepertimu!! Kamu harus tanggung jawab!” Lanjutnya.
“Enggak, Pa!! Jun gak mau!”
“Hah!!” Papanya duduk dan bicara pada ayahku.
“Maafkan putraku! Ini salahku karena tak mendidiknya dengan baik!” Katanya lagi. Sedang ayahku tetap mengalihkan pandangannya.
“Rin? Benar itu anak Jun?” Tanya Mamanya dengan tangisnya.
Sedang aku mengangguk samar. Papa Jun mengelus dahinya, tampak bahwa beliau tengah berfikir keras.
“Aku akan mengurus surat pernikahannya! Dua atau tiga hari lagi,, mereka akan menikah!” Ucap Ayahku.
“Bisakah kita membuktikan bahwa dia anak Jun?” Aku langung mendongakkan kepalaku ketika Papa Jun bertanya seperti itu padaku.
“Pa! Jangan menghakiminya begitu! Papa tau dia pacar Jun kan?” Dika menengahi.
“Siapa tau....”
“Pa!!” Ucapan Papanya segera dihentikan Dika, ia memandang Ayah dan Ibuku sejenak.
“Baiklah! Aku juga sudah bilang jangan berlebihan kalau pacaran tapi dia tidak mendengarkanku, jadi beginilah sekarang!” Papa Jun menghela nafas dengan kasar, mengalihkan pandangan dan menatap Jun dengan tatapan tajam.
Entah aku beruntung atau apa, tapi calon mertua ku sepertinya mengerti keadaanku. Aku benar-benar bersyukur.
“Pa!! Kenapa Papa malah mendengarkan kakak? Papa harusnya melihatku, mana mungkin aku melakukan itu?”
“Jun?” Aku memanggilnya lirih. Ucapannya benar-benar menghancurkanku. Tapi ia tak mendengarkanku.
“Kakak saja belum menikah!! Aku tidak mau! Aku masih punya masa depan!!” Dia membentak.
“Kalau kamu tau kamu punya masa depan, kenapa kamu lakukan ini?!!” Suara papanya tak kalah tinggi.
Jun diam.
“Nurut aja kamu! Tanggung jawabkan apa yang sudah kamu lakukan!!”