Still into You

Bentang Pustaka
Chapter #2

[1] Mantan

Kenapa namanya mantan terindah? 

Karena, dari semua mantan gue, 

cuma dia yang bikin gue nyesel udah ngelepas dia.

***

“Makin cantik aja dia.”

Aji mencibir mendengar kalimat yang selalu diucapkan Arkan sepulang pertukaran pelajar beberapa hari lalu. Belum lagi tatapan mata sahabatnya itu yang sekarang hanya fokus kepada satu cewek yang berada di lapangan basket bersama dengan kelompok karate sekolah. Membuatnya bergidik geli.

“Sayangnya mantan, ya, Ar. Jadi, lo cuma bisa lihat dari jauh.”

Kali ini Arkan menoleh untuk menatap Nathan. “Mending lo pergi aja, deh, Than. Cari pacar sana biar nggak dikira suka sama cowok.”

“Ngomong kayak nggak ada rahang, lo!” Nathan memukul kepala sahabatnya itu cukup keras, yang hanya dibalas tawa lebar oleh Arkan.

Ketiganya saat ini duduk di kantin lantai bawah sekolah yang langsung menghadap ke arah lapangan basket.

“Dia jadi beda banget.”

“Siapa?” tanya Aji bingung karena perkataan Arkan yang tiba-tiba. Lalu, bibirnya langsung berdecak saat menyadari siapa yang sedang dibicarakan sahabatnya itu. “Ya Tuhan, lama-lama gue tonjok juga nih anak! Dari kemarin ngomonginnya mantan mulu. Heran gue. Kasihan, kek, lo sama Nathan yang jomlo dari orok!”

Arkan terbahak mendengar ejekan itu, sedangkan Nathan sudah menjitak kepala Aji dengan keras.

“Dia jutek banget kali, Ar. Yakin lo dulu jadian sama dia?”

“Dulu dia nggak kayak gitu.”

“Dulu yang lo maksud pas dia belum lahir kali,” balas Nathan santai, yang langsung disambut tawa oleh Aji.

“Serius gue, kutu!” gerutu Arkan sambil memukul kepala Nathan.

“Emang di Aussie lo nggak ketemu kenalan baru? Pasti banyak cewek cakep. Setahun di sana, lo nggak bawa apa-apa?” tanya Aji dengan nada heran yang dibuat-buat. Mencoba mengalihkan perhatian sahabatnya.

“Ck. Kenalan doang, sih, gue ketemu banyak, Ji. Tapi, waktu gue balik terus lihat ternyata di sekolah ini ada si mantan, cewek-cewek itu jadi nggak ada artinya lagi.”

“Jijik banget!”

“Kok, gue mual, ya, Ji?”

Mendengar komentar itu, mau tidak mau Arkan langsung menyemburkan tawanya. “Tapi, serius. Waktu lihat dia tiga hari yang lalu, gue ngerasa takdir lagi baik sama gue karena dikasih ketemu lagi sama dia. Mungkin emang gitu kali, ya, kalo sama mantan terindah?”

“Najis! Asal lo tahu, ya. Nggak ada yang namanya mantan terindah. Kalo lo tahu itu indah, kenapa jadi mantan?” cibir Aji.

“Ada,” Arkan membantah. “Kenapa namanya mantan terindah? Karena dari semua mantan gue, cuma dia yang bikin gue nyesel udah ngelepas dia.”

Aji mendengus keras. “Kalo lo masih ngejar-ngejar dia gini, kenapa dulu putus?”

Arkan terdiam.

“Benar juga.” Aji ikut menimpali. “Kenapa lo putus sama dia, Ar?”

“Kenapa, ya?” Arkan justru balik bertanya, berpura-pura lebih tepatnya. Cowok itu lalu menggaruk-garuk keningnya yang tidak gatal. “Lo berdua pasti tahu yang namanya dosa permanen kaum adam, kan?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang sangat menyebalkan. “Mungkin gue juga dulu kayak gitu. Khilaf. Jadi, sekarang gue mau kejar jodoh yang pernah gue lepas dulu.”

“Dasar kutu kupret!”

Arkan tertawa puas. Melihat kedua sahabatnya marah-marah tidak jelas justru membuatnya semakin ingin tertawa. “Udahlah, nggak usah bahas masa lalu,” ujarnya sambil mengibaskan sebelah tangan ke udara. “Mendingan lo berdua minggir, deh, gue mau nyamperin jodoh masa depan gue dulu. Dia udah kelar latihan kayaknya,” lanjutnya, lalu bangkit dari duduk dan mulai berjalan meninggalkan kantin.

“Andai aku bisa ... ingin aku memelukmu lagi ... di hati ini hanya engkau mantan terindah ... yang selalu kurindukan ....”

“Itu orang nggak sadar apa, ya, suaranya jelek banget?” tanya Aji lucu saat telinganya masih menangkap suara Arkan menyanyikan sepenggal lirik lagu milik Raisa.

Nathan hanya geleng-geleng kepala, geli juga dengan tingkah sahabatnya yang benar-benar di luar dugaan jika sudah menyangkut sang mantan. “Udah gila dia. Biarin aja.”

***

Sepanjang melangkahkan kaki untuk menyusul sang mantan, Arkan selalu tersenyum kepada setiap orang yang menyapa. Entah itu adik kelas ataupun teman seangkatan. Senyumnya semakin lebar saat matanya menangkap sosok mantannya sedang berdiri di depan loker dengan seorang cewek.

“Hai, Mantan,” sapa Arkan sambil tersenyum semanis mungkin kepada cewek yang sekarang langsung membuang napas kesal.

“Rev, gue balik duluan, ya? Kayaknya mantan lo mau ngomong lagi,” ujar Erin sambil mengulum senyumnya.

“Thank you, ya, Rin.” Arkan mengedipkan sebelah matanya.

Erin tertawa kecil. “Ingat gue aja kalau kalian balikan nanti.”

Revi menatap Erin tajam saat mendengar perkataan cewek itu.

“Bercanda, Rev.” Erin langsung mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya ke udara, lalu segera berlari kecil meninggalkan Revi dan Arkan. Daripada nanti Revi mengamuk kepadanya, dia rasa lebih baik kabur sekarang.

“Latihannya udah selesai, kan? Pulang, yuk?”

Revi sama sekali tidak menanggapi perkataan Arkan. Cewek itu justru sibuk membereskan barang-barang yang ada di dalam lokernya. Menganggap tidak ada siapa pun di sekitarnya.

“Sekalian ngobrol bareng, Rev. Udah lama juga, kan, nggak ngobrol-ngobrol. Soalnya—”

Brakkk!

Pintu loker ditutup dengan bantingan yang cukup keras oleh Revi. Namun, bibir cewek itu masih bungkam. Hanya matanya menatap Arkan tanpa minat sama sekali. Memandang cowok itu seolah-olah tidak ada emosi di dalamnya.

Arkan tersenyum tipis. Namun, matanya tak lepas menatap Revi lekat-lekat. Ternyata dia benar-benar merindukan cewek itu.

Untuk kali kesekian, Revi hanya berlalu. Meninggalkan Arkan yang kembali terdiam tanpa ada lagi tingkah konyolnya.

Akan tetapi, bagi Arkan, ini baru permulaan. Sehari setelah melihat Revi, dia masih menggunakan cara normal untuk mendekati cewek itu. Dan, kemarin dia sadar usahanya tidak akan berhasil karena Revi tetap diam. Cara-cara konyol dan menyebalkan pun akhirnya dilakukan hanya agar—setidaknya—cewek itu mau berbicara kepadanya. Marah pun tak jadi masalah untuknya.

“Sampai ketemu besok, Mantan Terindah. Hati-hati di jalan, ya,” ujar Arkan setengah berteriak, membuat anak-anak yang mendengar kalimat itu langsung bersiul-siul heboh. Senyumnya tetap mengembang sekalipun hanya melihat punggung Revi yang terus berjalan meninggalkannya.

Lihat selengkapnya