Still into You

Bentang Pustaka
Chapter #3

[2] Suka

Lo boleh suka sama cowok. 

Tapi, jangan kasih semua hati lo. 

Itu sama aja lo bunuh diri.

Revi membaca chat dalam grup ekskul Fotografi di WhatsApp-nya sambil menghela napas. Sejak enam bulan lalu, saat iseng pergi ke pameran foto, dia mulai menyukai fotografi hanya karena melihat selembar foto yang menurutnya sangat “hidup”.

Di sana terdapat foto seorang cewek di tengah keramaian orang-orang yang sedang tertawa. Di dalam foto, cewek itu sedang tertawa lebar. Namun, luar biasanya, si fotografer bisa mengambil foto yang justru mengartikan sebaliknya. Fotografer itu berhasil menyampaikan bahwa sebuah tawa bukan hanya berarti kebahagiaan.

Kemudian, Revi tersadar dari lamunan saat ponselnya kembali bergetar karena chat masuk di WhatsApp-nya.

Lintang: Kyknya gk bisa, Than.

Lintang: Bulan ini, kls gw sm Tio ikutan bimbel tiap Sabtu.

Nathanael Devanio: Lo gmn, Rev?

Nathanael Devanio: Sabtu dpn bisa?

Revi kembali menghela napas. Apa yang harus dijawabnya? Tidak mungkin dia hanya pergi berdua dengan Nathan karena tiga anggota lainnya tidak bisa ikut. Namun, dia juga tidak mungkin berbohong hanya karena tidak ingin pergi berdua dengan cowok cuek itu.

Revita Maharani: Bisa

Sudah. Hanya kata itu yang dikirimnya. Setelah itu, Revi berbaring di atas kasur. Sesaat dia bergerak-gerak untuk mencari posisi nyaman karena tubuhnya terasa lelah sepulang dari rumah sakit. Namun, kemudian matanya menangkap sesuatu yang berada di bawah meja belajarnya.

Peralatan menggambar.

Revi tersenyum miris, lalu menutup matanya perlahan. Sudah berapa lama dia tidak melakukan hobinya itu? Sudah berapa banyak waktu yang dibuangnya untuk menjadi orang lain? Kemudian, dia tertawa sumbang dalam hati. Ternyata tidak pernah mudah mematikan diri sendiri supaya bisa menjadi orang lain.

***

“Iya, gue inget ... lo pesen rasa anggur, kan? Iya ... ini gue lagi jalan ke tokonya ... hmmm ... lo jangan banyak gerak, nanti Nyokap ngomel-ngomel ... iya, gue—”

“Kak Revi!!!”

Panggilan itu menghentikan Revi yang sedang berbicara dengan seseorang lewat ponsel. Keningnya berkerut samar saat melihat sosok cewek berseragam putih biru menghampirinya.

“Nanti gue telepon lagi,” sambung Revi, lalu mematikan panggilan pada ponselnya.

“Ya, ampun, Kak! Baru satu tahun lebih nggak ketemu, udah lupa aja sama aku.”

“Siapa—astaga! Shifi?!”

Kepala Shifi mengangguk kencang, lalu dia merangkul lengan Revi dengan antusias. “Aku pikir tadi bukan Kakak, untung aja aku makin deket biar bisa lihat muka Kak Revi. Ternyata makin cantik, ya.”

Revi tertawa kecil. “Minta dipuji balik, ya?” ejeknya, tetapi sambil tersenyum.

Shifi ikut tertawa. “Kakak tinggal di Jakarta sekarang? Sejak kapan?”

“Dari tahun lalu,” jawab Revi singkat, lalu kembali menatap cewek yang sudah dianggapnya adik itu. “Ih, satu tahun nggak ketemu, banyak berubah, ya?”

“Makin cantik, ya, Kak?” tanya Shifi dengan senyum percaya diri.

Mendengar itu, Revi tertawa geli. Cewek ini masih saja sama seperti dulu. Lucu dan manja. “Ke sini sendirian?”

“Nggak. Sama Kak Arkan. Tapi, dia lagi ke kamar mandi.”

Tiba-tiba Revi tersentak mendengar nama itu. Kenapa dia bisa begitu bodoh? Shifi ini adiknya Arkan, cowok yang mati-matian dihindarinya.

“Fi, ayo makan. Katanya laper.”

Suara itu membuat Revi membuang napasnya sedikit keras. Sementara itu, Shifi sudah membalikkan tubuhnya dan Revi agar kakaknya bisa melihat.

“Tadaaa! Aku ketemu Kak Revi,” ujar Shifi girang.

Arkan sedikit terkejut melihat adiknya sedang bersama Revi. Lalu, perlahan senyum muncul di bibirnya saat memastikan siapa yang dilihatnya sekarang.

“Tuh, Kak,” ucap Shifi kepada Revi yang masih terdiam di tempatnya. “Kak Arkan mupeng gitu lihat mantannya,” cibirnya kepada sang kakak.

“Dasar, bocah! Gue sama Revi satu sekolahan lagi. Gue duluan yang ketemu sama dia,” sambar Arkan langsung.

“Masa, sih?” tanya Shifi tidak percaya. “Iya, Kak?” sekarang cewek itu bertanya kepada Revi yang menurutnya akan memberikan jawaban yang benar.

Revi mengangguk pelan, lalu tersenyum kecil. “Gue balik duluan, ya, Fi.”

“Eh, kok balik, sih, Kak? Makan siang dulu, dong.”

“Lain kali aja, deh. Jangan sekarang. Oke?”

Paksa terus, Fi, paksa, ujar Arkan dalam hati. Berharap adik satu-satunya itu memahami permintaan tanpa kata darinya.

“Sekarang aja, dong, Kak. Ya, ya? Kapan lagi ketemu dadakan gini.”

Bagus, Fi. Arkan menyeringai dalam hati. Dilihat dari raut wajah Revi yang mulai merasa tidak enak, dia yakin cewek itu pasti akan mengiyakan.

“Oke, deh. Di mana?”

“Di May Star aja. Nggak apa-apa, kan, Kak?” tanya Shifi menyeringai kecil kepada Arkan.

Arkan melongo mendengar nama restoran itu. Sial! Untung saja Shifi bisa membawa Revi ikut makan siang dengan mereka. Kalau tidak, dia akan menjitak kepala adiknya itu sampai puas. Cowok itu kemudian menghela napas pasrah. Bulan ini dia pasti tidak akan bisa membeli game baru.

***

Makan siang itu sebenarnya hanya diisi perkataan Shifi yang tidak ada habisnya. Revi menanggapi sesekali sambil tetap memasang senyum, sedangkan Arkan berpura-pura cuek. Padahal, matanya selalu melihat gerak-gerik Revi yang duduk di depannya.

“Kak Arkan sama Kak Revi kenapa nggak balikan lagi, sih?”

Arkan langsung terbatuk-batuk karena tersedak dimsum yang sedang dimakannya. Sementara itu, Revi berdeham pelan, lalu minum.

“Anak kecil tahu apa, sih?” tanya Arkan sambil menyentil dahi adiknya. “Udah pada selesai, kan? Pulang, yuk.”

Shifi mencibir melihat kelakuan kakaknya. Kelihatan banget salah tingkahnya. Dasar!

Setelah keluar dari restoran, Shifi kembali menempel pada Revi. Merangkul lengan cewek itu sambil melihat-lihat setiap toko yang mereka lewati.

Di belakang keduanya, Arkan tersenyum simpul. Hanya kurang mamanya di sana dan setelah itu dia yakin senyumnya akan lebih lebar daripada sekarang karena tiga perempuan yang sangat disayanginya bisa dilihatnya bersamaan.

Lalu, Arkan membuang napasnya pelan. Kalau dulu dia tidak mengacaukan semuanya, mungkin harapan itu bisa terkabul sekarang. Dia tidak perlu menghadapi Revi yang terasa sangat jauh sekarang.

“Kak Arkan!”

Panggilan itu membuat Arkan langsung menatap adiknya. “Kenapa?”

Lihat selengkapnya