Still Love You

Eka Septiani
Chapter #1

1. Terlihat Bersama

"Suamiku tidak ada gunanya," ujar Karan.

Dua wanita yang duduk di depan Karan mengangguk. Artinya bukan setuju, melainkan sekadar merespons agar wanita berambut ikal itu tidak marah. Tidak terhitung berapa kali kalimat itu dilontarkan sehingga membuat orang lain merasa jenuh.

"Setidaknya kau sudah bersuami, tidak sepertiku yang masih saja sendiri." Ucapan itu untuk menghibur teman sekaligus diri sendiri. Perempuan yang dua bulan lagi sudah berkepala tiga itu mulai merasa khawatir dengan nasibnya.

"Lebih baik sendiri daripada mendapatkan suami seperti Dito." Karan lagi-lagi menjelekkan pria bertubuh tambun yang menjadi seorang ayah beberapa bulan yang lalu. "Kalau bukan karena uangnya, mana sudi aku nikah sama dia," sambung Karan dengan alis menyatu.

Seorang pelayan datang mengantarkan minuman yang mereka pesan dua puluh menit yang lalu. Kafe dengan nuansa temaram malam itu tampak ramai. Beberapa orang diyakini duduk dan memesan minuman termurah hanya sebagai alasan agar dibiarkan menumpang berteduh.

Agatha tidak masuk ke dalam obrolan temannya dan memilih untuk mengamati keadaan sekitar. Melihat beberapa pasangan muda yang bercengkerama membuatnya merasa iri. Tidak pernah sekalipun dia berkencan dengan seseorang. Tiba-tiba cintanya terbalaskan dan sang lelaki langsung melamarnya. Masa yang mengharukan itu berhasil menghilangkan sedikit rasa rindu kepada sang suami untuk saat ini.

"Tha, bagaimana pekerjaanmu di kantor?" tanya Lia yang berusaha mengalihkan topik pembicaraan Karan. Apalagi kalau bukan tentang suami yang tidak berguna.

Agatha menghela napas. "Seperti biasa. Aku harus cepat menyelesaikan desain yang nantinya akan digunakan untuk sampul majalah," ucap Agatha sembari menopang dagunya.

"Pekerjaanmu memang melelahkan. Setidaknya ada Marco di sisimu. Aku tidak habis pikir bagaimana bisa Marco memilihmu sebagai seorang istri? Kau wanita yang sangat beruntung." Karan berkata dengan penuh semangat seraya membayangkan bagaimana sosok Marco yang terlihat sempurna di matanya.

Lia memberikan tatapan tajam dan menyenggol Karan dengan sikunya. Tidak habis pikir kenapa dia berteman dengan seseorang yang selalu melontarkan kalimat tanpa memikirkan perasaan orang lain.

Berbeda dengan Agatha yang terlihat biasa saja dalam menanggapi perkataan Karan. Bukan hanya sekali, tapi sudah sering temannya itu heran sekaligus takjub dengan suaminya. Marah pun tidak ada gunanya, karena tidak dapat dipungkiri dia pun sering berpikir begitu. Kenapa seorang Marco Abraham yang tampan, berperawakan tinggi dan ideal, serta memiliki sifat yang baik itu mau dengan dirinya?

"Tampan, ramah, dan baik hati. Sangat sempurna! Sedangkan kau itu pendiam, wajah pun biasa saja."

"KARAN!" bentak Lia tiba-tiba. Dia selalu heran mengapa Agatha hanya diam saat Karan berbicara seperti itu.

Terselip kemarahan dalam hati Agatha. Namun, akal sehatnya selalu berhasil membuatnya kembali tenang. Membalas perkataan Karan mungkin akan menimbulkan percikan api di antara pertemanan mereka. Kemudian, perkelahian di sebuah kafe yang ramai hanya akan menjadi hiburan bagi orang-orang yang tidak dikenal. Kalau begitu, apa manfaatnya? Lagi pula hanya Lia dan Karan yang bertahan menjadi temannya. Memiliki sifat yang tidak pandai bergaul dan pendiam sangat menyulitkan untuk mendapat teman.

Lihat selengkapnya