Empat tahun yang lalu ...
{Mei, 2017}
Teet!!!
Bel masuk terdengar. Seorang siswi cantik dengan rambut ikal terurainya baru saja menyelesaikan gambar manga di atas kertas putih. Dia duduk di bangku sebelah jendela.
"Cantik banget, Lun!" puji teman di sebelahnya.
"Hm, makasih. Apa setelah tamat sekolah, aku kuliah jurusan seni rupa aja, ya?" angan Luna, demikianlah nama gadis itu.
"Ambil desain grafis aja. Sekalian belajar gambar dari komputer. Nanti kamu bisa nyambi jadi pengarang komik."
"Ih, iya. Tapi ...."
Zrakkk!!! Luna terkejut saat teman sekelasnya menyambar hasil karyanya itu.
"Adisty!"
Adisty Samantha, demikian nama di bet seragamnya. Meski tampan, tapi dia sangat menyebalkan. Luna beranjak dari kursi, segera mendekat pada Adisty yang ada di belakang meja terakhir. Adisty sangat jangkung. Pemuda tampan dengan binar mata cokelat dan alis tebal itu hanya mencibir kecil saat Luna meloncat untuk mengambil kertas yang dijunjungnya.
"Balikin, ih! Apaan kamu, Dis!" keluh Luna.
"Dih, gambar jelek gini aja mau sok-sokan jadi author komik," cibirnya.
"Oi, Disty! Ini udah hampir tiga tahun dan lo nggak ada bosan-bosannya gangguin Luna. Besok udah kelulusan, loh!" sahut salah seorang teman yang lain.
Adisty tertawa kecil. Dia berlari ke seputar kelas yang sunyi agar Luna mengejarnya. Masih ada senyum saat Luna tampak kesal karena gagal mendapatkan kertas gambarnya.
"Adisty! Balikin!" kesal Luna.
Adisty tertawa dan menjulurkan lidah. Dia merapat ke dinding sudut karena Luna masih mengejarnya.
"Makanya, jadi cewek itu jangan pendek-pendek banget. Masa ngambil ini aja nggak bisa. Harusnya ...."
Deg! Adisty terkejut saat tak sengaja bibirnya tepat menabrak bibir Luna. Bukan salahnya. Luna yang menarik dasinya agar Adisty lebih menunduk untuk bisa menjangkau kertas gambar itu. Bahkan Luna terkejut. Wajahnya merah. Dia segera menjauh dan berbalik.
Aduh, itu tadi ga sengaja. Mati aku! Mikir apa nanti dia, rutuk batin Luna.
Luna kembali duduk di bangkunya. Syukurlah tak ada teman sekelas yang melihat. Luna melipat tangannya di atas meja, menyembunyikan wajah. Tak lama, seorang teman kelas yang lain datang ke hadapan Luna, menepuk lengannya agar Luna mengangkat kepala.
"Reza?" seru Luna.
Siswa berkacamata bernama Reza itu hanya tersenyum, lalu meletakkan sebatang cokelat di atas kertas Luna.
"Buat kamu," katanya.
Hanya itu. Luna memegang cokelat favoritnya setelah Reza pergi. Sesekali Luna melirik ke belakang. Adisty masih di sana. Dia bergidik ngeri melihat senyum si jahil itu.
Yang terjadi beberapa menit lalu, hanya Adisty dan Luna yang tahu. Adisty tersenyum tipis sambil menggaruk telinganya. Detak jantungnya kian memburu jika mengingat 'ciuman' tak sengaja itu.
Kevin benar. Ini udah tiga tahun. Aku harus bilang sama Luna tentang perasaanku. Setelah kelulusan aja, gumamnya.
Itulah awal dari keberanian Adisty mengungkap rasa.
*
Binar ceria mewarnai para siswa yang keluar dari auditorium. Selesai sudah acara kelulusan. Banyak dari mereka yang mengabadikan foto sambil memegang bucket bunga. Para wali menyingkir untuk memberi kebebasan pada anak-anaknya untuk melepas rindu jika berpisah nanti.
"Disty, mau pulang sekarang?" tanya papanya yang masih memegang ponsel.
"Ih, pulang sekarang? Nggak, lah! Papa aja. Aku masih ada urusan," ujarnya, mendelik malas.
"Hei, ini Papa buru-buru. Kantor cabang di Jepang udah mulai beroperasi. Kayaknya Papa mau otw ke sana."
"Lama, nggak?"
"Apanya?"
"Balik ke sini."
"Kenapa emangnya?"
"Aku mau ngenalin calon menantu Papa."
Papanya terkejut. Lantas tak berpikir dua kali, dia pun mengetuk dahi putra semata wayangnya ini. Tuk!
"Anak ini mabok atau gimana? Baru lulus kok ngomongin kawin?" gerutu pria bernama Adira Samantha itu.
"Ck, udah Papa pergi sana!"
Papa Adira menggeleng. Beliau hapal betul sifat putranya itu. Setelah pergi, Adisty menjauh dari kerumunan. Dia duduk di bawah pohon beringin. Di sana, Luna masih tertawa bersama temannya.