Setiap orang memang dibebaskan untuk mencintai siapapun, tanpa mengharapkan balasan tentunya. Namun, terkadang banyak orang yang lupa diri. Mereka menuntut banyak hal, termasuk mendapatkan cinta yang selama ini hanya menjadi angannya.
"Ta, Mas Alan bilang ada pria yang ingin berkenalan denganmu. Saranku sih, kenalan saja dulu, siapa tahu cocok kan?"
"Ren, aku lagi gak mau memikirkan soal itu. Aku ingin hidup tenang,"
"Mau hidup tenang atau menunggu Pak Hadi menerimamu?"
Meita tersenyum, "Aku gak minta muluk-muluk kok, aku hanya ingin dia memandangku barang sebentar."jawabnya dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya.
"Iya deh. Jadi, mau gak nih? Soalnya, dia itu mau kenalan sama kamu. Penasaran katanya.... "
"Oke, tapi aku belum bisa sekarang. Kamu kan tahu, skripsiku masih harus revisi terus."
"Elah, Ta, aku bahkan sudah melupakan apa itu skripsi. Kalau kamu terlalu fokus ngerjain skripsi, bisa-bisa kamu stres,"selorohnya panjang lebar.
"Itu kan sudah tugas kita, Naren Sayang."
-0-0-0-
Jujur, Meita memang menginginkan sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi. Bodohnya, ia selalu berharap dan berharap lagi. Hadi, namanya sudah terpatri di hati terdalamnya. Entah sampai kapan akan terus begitu.
Banyak alasan mengapa ia jatuh cinta pada pria itu. Beda dengan yang lainnya, ia sama sekali tidak melihat fisiknya. Hatinya yang bergerak sendiri melakukan itu. Melakukan sesuatu yang tidak pikirannya tahu.
Selama ini, ia terlalu sering mendapatkan penolakan. Kisahnya bukan yang pertama, dulu dia juga pernah merasakan cinta bertepuk sebelah tangan. Sering malah.
"Ingat pria yang pernah kamu suka waktu itu?"
"Pria yang kusuka itu banyak,"Meita mengulum senyum sambil mengibaskan rambutnya.
Naren menggeleng, "Memang ya, gadis bernama Meita itu gak ada matinya. Selalu saja punya banyak cinta, sayangnya selalu gagal."
Meita sedikit mendesis tak suka. Baginya, perkataan sahabatnya itu bernada sarkasme. Tapi, dia sama sekali tak bisa mengelak, karena itulah kenyataannya.
Di sela-sela pembicaraan mereka, Meita memegangi kepalanya. Kepalanya tiba-tiba saja terasa sangat berat, seperti ditimpa ribuan besi tepat di kepalanya.
"Kamu gak apa-apa, Ta?"Naren mengguncang tubuh sahabatnya dengan gerakan yang lumayan keras.
Mata gadis itu perlahan terpejam, tapi ia masih bisa mendengar suara Naren yang memanggil namanya. Dia mencoba bertahan, membuka matanya, lalu mengatakan pada Naren, "Aku baik-baik saja. Aku hanya butuh istirahat,"
Meita dengan cepat melarikan diri tanpa mendengar ucapan Naren yang terus saja memanggil namanya dengan cemas. Dia sengaja menghindar, ia tak ingin sahabatnya itu mengkhawatirkan dirinya. Cukup keluarganya saja yang mengasihaninya, orang lain jangan.
Brrruukkkkk...
-0-0-0-
Rasa pusing di kepalanya masih sedikit terasa. Perlahan, ia membuka matanya. Melihat sekeliling ruangan yang menurutnya sangat asing. Rumah sakit?
"Selamat siang, sudah sadar?"