Bila aku harus mencintai dan berbagi hati,
Itu hanya denganmu,
Namun bila,
Kuharap tanpamu,
Akan tetap kuakui hidup tanpa bercinta.
Namanya Hadi, Hadi Suwiryo. Pria kelahiran Yogyakarta. Ia terlahir dari orangtua terpandang. Kaya raya dan bukan orang sembarangan.
Sangat jauh berbeda dengan gadis yang saat ini sedang menatap langit dengan fokus. Dia Meita, Meita Putri. Seorang gadis yang terlahir dari keluarga sederhana. Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga, lalu Bapaknya hanya pekerja swasta biasa. Lahir di Jakarta membuatnya harus merasakan kerasnya Kota Jakarta. Tak hanya itu, sejak sekolah dasar, ia harus bisa mempertahankan nilai akademiknya demi beasiswanya.
"Sampai kapan kamu mengangumi orang yang sama sekali tidak melihatmu. Baginya, kamu hanyalah bayangan untuknya."Naren, sahabat Meita, mengajukan pertanyaan ketika melihat Meita hanya diam saja dengan tatapan yang kosong.
"Aku tahu, Ren"
"Kalau kamu sudah tahu, mengapa juga harus menunggu. Sudah saatnya kamu move on dan mulai membuka hati. Masih banyak pria di luar sana yang begitu tergila-gila padamu. Memangnya kamu tak ingin hidup bahagia?"
Meita meminum orange juice nya dengan nikmat. Segar. Pikirannya berkelana, kadang apa yang diucapkan Naren ada benarnya juga. Dia memang harus melupakan perasaan yang mengkungkung hatinya. Tapi, bagaimana caranya?
"Aku gak tahu caranya, Ren. Kamu tahu sendiri kalau aku itu orangnya pekerja keras, susah rasanya."
"Nah... coba deh kamu buka hati untuk orang lain. Kita gak akan pernah tahu, mungkin saja di luar sana masih banyak pria yang menunggu hatimu terbuka."
"Iya, Narenku Sayang..."
"Sudah. Mas Alan punya teman kantor yang tak kalah tampan, mau kukenalkan padamu?"
Meita tersenyum seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ren, aku bukan gadis yang menyedihkan sampai memintamu untuk mencari pasangan."
-0-0-0-
Seperti biasanya, gadis berambut sebahu itu selalu datang lebih awal ke kampus. Kalau tidak ada sesuatu yang penting, ya dia tidak akan terlambat. Dia terkenal paling disiplin sebagai mahasiswi.
"Ta, lihat deh, itu Pak Hadi kan? Ganteng banget ya? Gak salah sih kalau banyak mahasiswi yang naksir."
Meita tak menjawab. Ia hanya melirik sekilas pria dewasa yang berada di ujung koridor. Hadi, pria itu selalu terlihat mempesona. Pakaian apapun yang ia kenakan, akan tampan indah di tubuh atletisnya. Bukan rahasia umum lagi, kalau pria bermata cokelat itu disukai banyak gadis. Mulai dari mahasiswi sampai dosen perempuan yang masih sendiri.
Sebenarnya, tak ada yang spesial dari Hadi. Dia hanya pria yang kerap kali bersikap dingin pada lawan jenisnya. Seolah, ia sangat membenci kaum bernama perempuan. Karena itulah, daya tariknya semakin besar. Hal yang menurutnya sangat mengganggu itu justru menyeretnya dalam keadaan yang aneh.
Meita, gadis itu sebenarnya terpesona pada Hadi bukan karena wajah rupawannya. Justru, ia jatuh cinta karena suatu alasan yang hingga saat ini masih belum terkuak.
"Selamat pagi, Pak Hadi..."
Terdengar sorak-sorai beberapa mahasiswi yang sengaja menyapa dosen itu. Tapi, hasilnya tetap saja nihil. Tak ada satu pun dari mereka yang mendapatkan balasan yang ramah darinya. Aneh.
Sempat tak suka dengan sikap Hadi yang sama sekali tidak ramah, tapi sayangnya, perasaan Meita kepada dosen dingin itu berkali-kali lipat lebih besar. Jadi, dia sama sekali tidak bisa membenci pria itu.
"Jangan bengong ! Kemasukan lalat, baru tahu rasa..."
"Aku gak bengong kok. Cuman lagi pusing..."
"Pusing memikirkan Pak Hadi ya?"
Meita menggeleng dengan pipi yang memerah, "Gak kok, bukan karena itu. Aku pusing ya karena tugas kampus yang banyak."
"Ah masa? Jangan bohong! Ta, aku ini sahabat kamu, jadi aku tahu segala hal tentang kamu."
"Naren..... "
Naren menepuk bahunya beberapa kali, "Saranku sih, lebih baik kamu mundur perlahan. Bukanny apa-apa ya, Ta, aku hanya tak ingin kamu sakit hati. Kamu kan tahu bagaimana sikap Pak Hadi sama orang lain. Gak ada manis-manisnya."
"Ren... kalau yang ada manis-manisnya mah le mineral,"