Aman pun dilarikan keklinik terdekat, aku dan Amaliah hanya menunggu dirumah dengan perasaan harap harap cemas. ditemani nenek ani, nenek ani ini adalah nenek yang tinggal tepat didepan rumah kami, beliau mempunyai pohon jambu air dipekarangan rumahnya dan pohon itu selalu berbuah tanpa kenal musim.
"Diamlah nak." Ucap nenek ani menenangkanku dan Amaliah yang masih saja menangis tersedu-sedu.
"Tangannya luka nek, Darahnya keluar banyak sekali." Jawabku sambil terbata bata karena sesenggukan.
"Dia tidak akan apa-apa tenanglah." balasnya lagi.
Detik berganti menit, menit berganti jam, tak lama kemudian muncullah yang dikhawatirkan dalam keadaan tidur. ibu memberi kode untuk tetap senyap dan tidak mengeluarkan suara. Aman pun ditidurkan di ayunannya "Sekarang bawa keluar sepeda ini, dan jangan pernah bawa masuk lagi." ucap ibu saat itu.
Aku lalu mengeluarkan sepeda itu perlahan dan menaruhnya tepat digarasi kecil belakang rumah. banyak perasaan bersalah yang tak bisa kujelaskan saat ini, mulai dari kurangnya perhatian yang kuberi kepada adik kecilku sampai kekecewaan yang kuberi kepada ibu. akupun memutuskan untuk menyelesaikan rasa bersalahku ini dengan caraku sendiri.
*****
Jam pun berganti hari, aku memutuskan untuk keluar dari rumah dimalam hari tepat saat semuanya terlelap. kalau kalian mengira aku akan tidur dijalanan maka perkiraan kalian itu salah, aku tidur dirumah nenek bersama kaka dari ibuku. awalnya beliau heran kenapa aku dapat dengan koper pakaian sampai akhirnya aku menjelaskan kronologi ceritanya.
"Ibumu memang seperti itu, sangat tidak bisa menahan amarah. Dia selalu mengira dialah yang sangat lelah dan bekerja keras." kaka dari ibuku itupun menghela nafas sambil menggeleng kepala dengan nene dan kakek yang hanya diam.
Aku sama sekali tidak mengeluarkan komentar dan tidak ingin bercerita, begitulah aku. Tipikal yang hobby menyimpan masalah dan tidak suka memperpanjang.
Ini sudah masuk minggu pertama Try Out untuk kelas IX, aku sama sekali tidak ada niat untuk terlalu serius mengikutinya. entahlah mungkin faktor hati yang tidak tenang ataukah otak yang tak ingin sejalan.
"Bunda Ana," panggilku kepada kaka dari ibuku tersebut.
"Iya nak?" Sahutnya dari dapur.
"Aku kerumah Fany yah, mau latihan nari." Izinku.
"Iya tapi jangan pulang larut yah!" Ingatnya.
"Iya." Teriakku yang sudah turun melalui pintu dapur.
Oyaaa, biar ku jelaskan sedikit. Rumah Inaku yang sekarang aku tinggali merupakan rumah gantung dengan atap Bata yang baru saja diganti beberapa bulan lalu saat mendapat bantuan bedah rumah berupa uang yang Alhamdulillah cukup untuk mengganti atap rumah ini.
Rumahnya tidaklah luas, dengan hanya 3 petak ruangan berukuran 5x5 dengan 1 kamar di tiap petaknya juga kamar mandi luar. lantai bambu, dan dinding dari kayu jati, nah aku sudah mendefinisikannya silahkan kalian membayangkan sendiri saja bagaimana model dari rumah yang aku tinggali sekarang. sangatlah tidak mewah tapi aku nyaman bahkan lebih nyaman ketimbang dirumahku sendiri.
Disini juga nenekku tidak hanya tinggal sendiri beliau tinggal dengan Bunda ana kaka dari ibuku tadi. ia mempunyai 1 orang anak laki-laki namanya Muly, dan kami berbeda 1 tahun itu artinya dia lebih tua setahun dariku. Tapi itu tidak berpengaruh apapun, bahkan terkadang aku merasa bahwa kami ini seumuran.
Ok get back to my story...
Sore itu aku latihan menari bersama teman sekolah sekaligus teman sekampung dan kelompoknya terdiri dari 6 orang dan guru mengijinkan kami untuk memilih sendiri anggota dari kelompok kami masing-masing. kami mengangkat tarian tradisional yang agak sulit menurutku, secara ini adalah pertama kali seumur hidup mempelajari yang namanya tarian. butuh waktu seminggu sebelum akhirnya aku tau yang namanya menari, aku selalu mengulang gerakan itu sebelum tidur melatih tubuhku agar lebih lentur lagi. Tarian ini nantinya akan menjadi nilai akhir sebelum menghadapi ujian praktek yang sesungguhnya.
No more gadget, No more motorcycle, and No more pocket money. very annoying! Helaku dalam hati ditengah tengah break latihan.
"Andri..." Panggil Muly.
"Ya?"
"Latihannya sudah?" Ia bertanya yang ku jawab dengan anggukkan. "Yaudah ayo balik, bunda ana udah nunggu. ini juga udah mau magrib."
"Ok. See you later guys, besok berangkat bareng ke sekolah nanti aku singgahi ok!" Ucapku seraya berpamitan kepada mereka.
"OK!" mereka menjawab serempak.
Begitulah caraku meminta dan mengabari tanpa menggunakan ponsel, biasanya aku akan datang lebih pagi untuk menjemput mereka berjalan kaki sambil bercerita hingga sampai kesekolah.
Kami pulang dengan berjalan kaki, karena jaraknya juga tidak begitu jauh.
"Heh, tumben jemput balik. Biasanya juga saya balik sendiri." Ucapku yang kemudian mengintrogasi kakaku itu.
"Kebetulan saja lewat sepulang main bola jadi singgah deh."
"Tapi tadi kenapa bilang bunda ana sudah tunggu? Itukan berarti kamu dari rumah bukan dari lapangan! Terus juga kalau pulang main bola kenapa nggak make sepatu?" Tanyaku beruntun.
"Tau weh, Bawel banget!" Jawabnya aku, hanya berdecih dan jalan sedikit lebih cepat meninggalkannya dibelakang.