Stone Tower

Ananda Putri Safitri
Chapter #1

Prolog

Agustus 2015

Waktunya kembali ke rutinitas sehari-hari. Pukul delapan pagi, Qian Xi bangun dan bersiap mandi. Ia mengerjapkan mata beberapa kali lalu menghembuskan napas panjang dan bangkit dari ranjangnya. Dibilas tubuhnya menggunakan air dingin. Aahh, segarnya.... Setelah itu, ia mengganti baju dan mengambil gitar kesayangannya untuk digendong di pundak. Tidak lupa ia juga mengambil dompet dan keluar bersama dengan kunci kamar yang disewanya. Diputar sekali kunci itu hingga kenop pintu tidak lagi bisa terbuka. Qian Xi berjalan pelan pada gang kecil tempatnya tinggal. Selisih lima rumah, ia mampir ke gerobak pedagang kaki lima untuk membeli sebuah bakpao rasa kacang merah.

Dinikmati bakpao kacang merah tersebut sembari berjalan menuju halte. Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke sana. Melihat kursi tunggu yang masih kosong, ia memilih untuk duduk. Dilihatnya jam di tangan kirinya yang menunjukkan pukul 08.40 waktu setempat. Masih dua puluh menit lagi sebelum bus yang ditunggu tiba. Sembari menunggu, Qian Xi memetik beberapa senar gitar dengan lembut. Terdengar alunan petikan gitar yang merdu. Orang-orang yang juga mendengar petikan gitar tersebut ikut menikmati. Tanpa terasa dua puluh menit yang ditunggu telah berlalu. Ia pun segera memasukkan gitarnya ke dalam tas gitar lalu bergegas masuk ke dalam bus. Ia membayar tarif bus menggunakan kartu anggota bus.

Setelah membayar, Qian Xi memilih tempat duduk di dekat jendela sebelah kiri. Ia melihat ke arah luar. Suasana pagi yang ia suka. Melihat hiruk-pikuk kesibukan orang-orang di Guangzhou membuatnya rindu kepada nenek. Sabar Qian Xi. Besok kau akan pulang. Tanpa terasa setengah jam sudah berlalu dan tempat yang ia tuju telah tiba. Ia pun turun di halte bus pusat kota Guangzhou. Dengan santai, Qian Xi berjalan menuju Jalan Pejalan Kaki Shangxiajiu. Masuk beberapa jalan besar, ia berhenti. Lalu bersiap dengan gitarnya. Tas gitar diletakkan di depannya sebagai tempat orang-orang memberi uang. Lalu, gitar dikalungkan di dadanya sudah menjadi tanda bahwa ia telah bersiap. Ia pun mulai memetik gitarnya dan bernyanyi.

Awan gelap mengukir bayangan di hati kami

Aku mendengarkan keheningan panjang

Jelas dan transparan, persis seperti pemandangan indah

Aku selalu melihat dengan jelas dalam ingatan

Bisakah hati yang hancur terus mencintaimu

Lihat selengkapnya