Stone Tower

Ananda Putri Safitri
Chapter #3

Bab 2

November 2015

Tiga hari kemudian. Drtt.... Masuk satu notifikasi pesan pada layer kunci ponsel Qian Xi. Ia melirik sekilas lalu melihat nama di ponselnya. Tertera nama 'Rentenir' di atas sebuah pesan singkat. Satu kalimat yang sempat terbaca, menyebutkan kata nenek. Satu kata kunci itu membuatnya secara otomatis membuka pesan tersebut. Ternyata ia juga mendapatkan pesan gambar berisi foto neneknya. Isi pesannya yaitu, "Aku mengawasimu. Jika kau belum membayar hutang minggu ini, nenekmu tidak akan selamat." "Qian Xi, ibu tahu kamu pindahan dari SMA Meixihu terlampir di Universitas Norma Hunan Tugu. Sekarang, kamu mau ibu yang menyimpan ponselmu atau kamu sendiri yang menyimpannya!" teriak tegas ibu guru Qian Xi. "Maaf bu, saya akan menyimpannya sendiri," ucap Qian Xi segera meminta maaf lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas.

Saatnya jam keempat dimulai. Guru Bahasa Spanyol Qian Xi berpamitan pergi. Kini waktunya jam pelajaran tenis dimulai. Qian Xi beserta teman sekelasnya berbondong-bondong menuju kamar ganti untuk mengganti baju dengan seragam tenis. Sesuai kontrak awal semester, guru tenis memberi waktu siswanya sebanyak lima menit untuk berganti pakaian. Qian Xi bersama temannya segera mengganti baju di ruang ganti laki-laki. Tidak butuh waktu lama, Qian Xi dan teman sekelas laki-lakinya sudah selesai berganti pakaian. Mereka mulai bergegas mengambil raket tenis masing-masing di dalam loker dan keluar menuju lapangan tenis.

"Apa kau tidak keluar?" tanya teman sebangku Qian Xi. "Sebentar lagi aku pergi. Kau duluan saja," jawab Qian Xi. Satu persatu teman sekelas Qian Xi mulai meninggalkan ruang ganti. Kini hanya tersisa dirinya di dalam. Ia pun mengecek ponselnya lalu menelepon rentenir yang tadi sudah mengusik pikirannya. Panggilan pertama tidak terjawab. Panggilan kedua terdengar nada sambung. Menunggu agak lama, akhirnya panggilan tersebut tersambung. "Jangan menyentuh nenekku! Aku berjanji akan membayar hutangku minggu ini," ucap Qian Xi dengan rahang yang mengeras. "Ya-ya. Kita lihat nanti. Apakah kau benar akan membayar atau tidak," jawab pria yang sebelumnya memukulinya hingga babak belur. Qian Xi menghela napas panjang berusaha menahan emosi dan kemudian berkata, "Kututup teleponnya." Ia segera memencet tombol telepon telungkup berwarna merah di layar ponselnya. Kemudian, menyimpan ponsel ke dalam loker dan mengambil raket tenis. Ia bergegas lari menuju lapangan tenis.

"Baik sekarang kalian lakukan pemanasan dahulu sebelum bermain," perintah guru tenis Qian Xi. Tanpa banyak protes, seluruh siswa sekelas Qian Xi segera mengikuti instruksi. Lima belas menit kemudian, mereka diperbolehkan bermain. Pelajaran hari ini, guru Qian Xi menyuruh siswanya untuk berkelompok dua-dua untuk melakukan pertandingan ganda. Boleh ganda putri, ganda putra, atau ganda campuran. Untuk tim yang menang, pak guru akan memberikan skor 80 untuk penilaian praktek. Dan bagi tim yang kalah, harus melakukan ujian ulang di akhir semester.

Ketika nama Qian Xi disebut, ia segera memenuhi panggilan. Selama tes, Qian Xi kurang fokus. Hal itu mengakibatkan rekannya sedikit kesal karena berulang kali Qian Xi kehilangan poin. "Fokus Qian Xi!" teriak rekan setim Qian Xi dengan nada kesal. "Ah iya, maafkan aku," ucap Qian Xi berusaha fokus memukul bola dari lawan. Ketika pertandingan berakhir, ia dan rekannya kalah. "Tumben sekali kau tidak bermain dengan baik. Apa kau ada masalah?" tanya pak guru pada Qian Xi. Yang ditanya menggeleng dan berkata, "Saya sedikit tidak enak badan pak." Pak guru pun mengangguk-angguk percaya kemudian menyuruh siswa lain untuk melakukan pertandingan.

Lihat selengkapnya