Alhamdulillah. Saya ingin melanjutkan apa yang telah saya paparkan sebelumnya, tentang ucapan Ibrahim bin Adham, seorang ulama Salaf terkenal, yang disebut dalam banyak buku, khususnya buku tentang zuhud. Saat berada di Bashrah, Irak, beberapa orang penduduknya datang bertanya kepadanya, karena dia dikenal sebagai orang saleh, “Allah Swt. berfirman, Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu (QS Ghafir [40]: 60), tetapi kami telah berdoa kepada Allah Swt. dan kami tidak melihat hasilnya; kami tidak melihat doa kami dikabulkan oleh-Nya.” Dia menjawab, “Itu karena hatimu mati.” Allah Swt. hanya menyeru orang yang hidup. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa Dia menyeru manusia kepada apa yang membuatnya hidup. Jika Anda menyambut seruan itu maka Allah Swt. akan menyambut seruan Anda.
Ibrahim bin Adham menandaskan ada sepuluh hal yang menyebabkan doa tidak terkabul. Berikut ini saya sebutkan lima di antaranya.
Pertama, kamu mengenal Allah Swt., tetapi kamu tidak memenuhi hak-Nya. Allah Swt. sesungguhnya memiliki sejumlah hak. Jadi, jika sekarang orang berbicara tentang hak asasi manusia (HAM), ada pula hak Ilahi. Ada orang yang berharap untuk dihargai. Mereka mengharapkan martabatnya dihormati, karena mereka merasa itu adalah haknya. Apabila Anda melecehkan seseorang, mereka merasa Anda melanggar hak mereka. Namun, siapa yang memberi mereka hak itu? Itulah pertanyaannya. Andaikata ini semua hanyalah kebetulan, maka alam semesta ini hanyalah peristiwa yang serampangan, tidak ada makna sejati di baliknya. Berarti, tidak ada tujuan atau makna. Oleh karena itu tidak ada bukti bagi hak asasi. Sehingga, saya bisa saja mengatakan bahwa saya tidak menyukai Anda, dan saya boleh saja menembak Anda. Atau, jika saya menyukai mobil Anda maka saya boleh saja mengambil mobil Anda. Hal ini karena kepemilikan punya hak, tetapi apa itu? Apakah itu hak negara? Orang bisa berkata, “Saya seorang pelanggar hukum, maka saya ingin tinggal di luar negara. Saya tidak punya kedudukan apa pun dengan negara.” Jadi, orang mengaku punya hak, tetapi apa dasar hak tersebut? Itulah pertanyaannya. Jika hak itu berdasarkan paksaan, berarti hanya keperkasaan yang membuat hak. Negara akan berkata, “Saya benar karena saya bisa memenjarakan Anda, atau saya bisa melakukan apa pun terhadap Anda.” Dan itulah alasan kita mematuhi hukum. Ada lagi yang di atasnya, yakni hak ilahi. Misalnya, firman Allah Swt., Dan janganlah kamu mendekati zina (QS Al-Isrâ’ [17]: 32). Pada ayat lain, Dan (mereka) tidak berzina (QS Al-Furqân [25]: 68). Pada ayat pertama, Allah Swt. melarang kita mendekati zina, karena itu adalah perbuatan yang busuk dan mengarahkan ke jalan yang buruk. Bentuk kalimatnya adalah perintah. Kalimat perintah menandakan bahwa apa yang diperintahkan harus dilakukan (larangan berzina harus dipatuhi, ed.). Allah Swt. mengatakan, jangan berzina. Itu adalah hak-Nya, dan Anda tidak boleh melanggar batasan Allah Swt. Jika Anda melanggar batasan yang telah Allah Swt. gariskan, berarti Anda melakukan sesuatu yang Dia larang. Jika orang-orang menerima berbagai hak itu, mereka harus mengakui bahwa bukan hanya mereka yang punya hak, tetapi Allah Swt. sendiri juga punya hak.
Salah satu hak Allah Swt. adalah Dia disembah dan tidak ada sesuatu pun yang disekutukan dengan-Nya. Hak-Nya yang lain adalah dia merupakan musyarri’, yang membuat perintah syariat. Ini bukan berarti manusia tidak boleh membuat hukum apabila ada manfaatnya, yang disebut mashlahah mursalah. Apabila sesuatu tidak ada dalam syariat tetapi ada manfaatnya maka manusia boleh membuat hukum itu. Lagi pula, kata para ulama, bahkan di negara yang memiliki hukum yang tidak adil, Anda tetap diharuskan untuk mematuhi hukum itu. Dalam kaidah ushul fiqih dikenal teori “memilih satu yang teringan dari dua hal buruk”. Intinya bahwa Allah adalah yang memerintah dan yang melarang. Itulah kedudukan Allah, bukan siapa pun selain-Nya. Sementara Nabi Saw. disebut “pembuat syariat” secara kiasan, karena beliau berbicara atas nama Allah Swt. Beliau berbicara atas nama Allah Swt. Tidak seorang pun bisa melakukan itu. Bahkan mufti tidak bisa melakukan itu. Seorang mufti hanya bisa memberi tahu Anda pendapatnya dan berucap, wallâhu a’lam (Allah yang lebih mengetahui). Itulah sebabnya kedudukan hukum fatwa bersifat tidak mengikat. Karena, kita tidak tahu apakah itu hukum Allah Swt. ataukah bukan. Itu adalah usaha manusia untuk menemukan hukum Allah Swt. Perbedaan ini penting untuk diketahui. Allah Swt. memiliki hak. Apabila kita tidak memenuhi hak tersebut, khususnya setelah berkata Anda mengenal-Nya, berarti Anda telah gagal memenuhi harapan Allah Swt. bagi Anda sebagai makhluk-Nya.
Kedua, Anda membaca Al-Quran tetapi perbuatan tidak sesuai dengannya. Al-Quran adalah kitab tauhid, kitab kisah yang kita sebut sejarah suci, serta kitab perintah dan larangan. Di dalam Al-Quran, misalnya, ada ayat, Dan dirikanlah shalat dan bayarlah zakat (QS Al-Baqarah [2]: 43). Ini adalah perintah Allah Swt. untuk melaksanakan shalat dan membayar zakat. Ada juga yang selain itu, misalnya, Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda-gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu (QS Al-Hadîd [57]: 20). Dunia ini adalah permainan, hiburan, perhiasan, tempat orang saling membangga-banggakan, lalu saling pamer; ada orang yang pamer kepada orang lain, “Saya melakukan ini. Saya melakukan itu. Saya lulusan universitas itu. Saya meraih gelar ini. Saya menghasilkan uang sekian tahun lalu. Saya baru saja membeli ini. Saya baru saja membeli itu. Kami pergi ke tempat itu untuk berlibur. Kami melakukan ini. Kami melakukan itu.” Itu semua sikap membangga-banggakan di antara manusia. Berikutnya, Allah Swt. mengatakan, Serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan (QS Al-Hadîd [57]: 20). Dunia juga adalah tempat manusia menumpuk harta benda serta memperbanyak anak cucu. Inilah kehidupan dunia. Lalu, apa kata Allah Swt. tentangnya? Dia berfirman, Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani (QS Al-Hadîd [57]: 20). Seperti hujan yang turun, lalu menghidupkan bumi. Anda melihat semuanya hijau, dan para petani melihatnya dengan penuh kekaguman. Sangat indah, seperti bulan, lalu sangat hijau. Apabila Anda melihat di sekitar sini, sangat indah dilihat, tetapi sekarang semuanya kuning, mati. Coba lihat bukit di tempat Anda. Semuanya mati. Allah Swt. berfirman, “Itulah perumpamaan dunia ini.” Anda anak muda. Anda anak belia. Anda memiliki semua gairah hidup Anda. Namun, Anda berada dalam modus kurva linier. Ketika bahtera sudah mencapai puncaknya, dan ia mulai turun, ia pun mengering, menguning, dan meluruh, ditiup angin. Di akhirat, ada hukuman yang menyakitkan bagi orang yang tidak memanfaatkan pesan ini, kenyataan di dunia yang saya beri tahukan kepada Anda. Anda tidak di sini untuk selamanya. Anda tidak di sini untuk hanya menikmati. Anda tidak di sini untuk menghabiskan hidup Anda dalam pengejaran yang sia-sia, dalam kebodohan. Itu adalah tindakan orang bodoh. Itu adalah perbuatan binatang. Makan dan minum saja, tanpa memikirkan esok hari, karena mereka tidak punya sejarah. Jika Anda memiliki sejarah, dan Anda mengetahui masa lalu, maka Anda akan memahami masa kini dan masa depan. Itulah sebabnya manusia sangat berbeda dari segala makhluk lain. Demikianlah yang Allah Swt. katakan. Namun demikian, ada ampunan-Nya, juga keridhaan-Nya, serta kepuasan karena Allah Swt. benar-benar senang. Ada orang yang tidak sekadar diampuni, tetapi juga tidak dihisab sama sekali. Itulah orang-orang yang masuk surga. Demikianlah Al-Quran memberi tahu kita. Lantas, siapakah yang mengambil pesan itu?
Anda membaca Al-Quran, tetapi tidak memikirkannya. Pada ayat lain, Allah Swt. berfirman, Kemudian Kitab itu (Al-Quran) Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami (QS Fâthir [35]: 32). Kitab apa pun itu, diwarisi. Al-Quran itu untuk kita. Sebab, kita adalah umat Muhammad Saw. Allah Swt. memberi kita Al-Quran, karena kita telah dipilih oleh-Nya. Ia adalah hadiah dari Allah Swt. Anda dipilih untuk menerima hadiah ini dari-Nya. Namun, lanjut Allah Swt., Lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri (QS Fâthir [35]: 32). Di antara manusia yang diberi Al-Quran itu ada yang menzalimi diri sendiri. Mereka tidak menzalimi orang lain, tetapi menzalimi diri mereka sendiri. Allah Swt. melanjutkan (Di antara mereka) ada (orang) yang pertengahan (QS Fâthir [35]: 32). Di antara mereka pula ada orang yang unggul dalam perbuatan baik dengan seizin Allah Swt. Inilah yang disebut oleh Allah Swt. sebagai orang yang menerima karunia yang luas. Jika Anda ingin dunia, begitulah gambaran dunia. Oleh karena itu, seperti dikatakan Allah Swt. pada ayat lain, Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba (QS Al-Muthaffifîn [83]: 26). Itulah karunia Allah Swt. yang sejati di dunia ini.
Jadi, Allah Swt. menggambarkan tiga macam orang dalam menyikapi Al-Quran.
1. Orang yang menzalimi diri sendiri. Ada orang yang tidak memperhatikan Al-Quran. Mereka tidak mendengarkan pesannya. Mereka membacanya. Mereka juga berkata dan mengimaninya. Namun, mereka tidak berbuat sesuai dengannya. Dalam tafsir dikatakan, Allah Swt. memulai dari orang semacam itu agar mereka tidak kehilangan harapan, karena mereka masih tergolong hamba-Nya, dan masih tergolong orang pilihan.