Stoples Cinta untuk Alvaro

anjel
Chapter #4

Alvaro dan Senyum Secerah Matahari Pagi

Ada tiga tipe murid yang biasanya tidak disukai di kelas. Pertama, anak nakal yang mojok di bangku belakang, datang ke sekolah hanya untuk memikirkan cara membolos atau menyesap rokok tanpa ketahuan guru kedisiplinan. Kedua, anak cewek polos nan cantik yang hanya tertawa manis ketika diganggu oleh gerombolan anak cowok. Ketiga, murid pintar yang tidak suka memberi contekan.

Zinnia adalah tipe ketiga. Ia tahu anak kelas tidak menyukainya, mereka menjulukinya 'jin pelit', 'jin budek', atau 'manekin di kursi depan' sebab dia tidak pernah menggubris mereka yang meminta contekan di semua situasi.

Sebetulnya, ada tipe keempat. Rianti. Tapi, gadis itu berbeda. Sebelas IPA 1 punya dua kursi kosong, di samping Zinnia dan di samping Rianti. Perbedaan keduanya terletak di kursi kosong tersebut. Zinnia tidak punya teman sebangku karena dia sendiri yang tidak mengizinkan siapapun duduk di sana. Sementara kursi di samping Rianti dibiarkan kosong sebab tak seorangpun mau duduk di sana. Artinya, Rianti lebih dari sekadar tidak disukai, tepatnya tidak dianggap.

Sebaliknya, sejak awal, Zinnia membentengi diri dengan pagar menjulang. Anak-anak kelas yang ingin mendekatinya lambat laun menyerah sebab tak punya cela untuk masuk. Barisan sakit hati itu mulai mengatainya 'songong'. Gosip menyebar, lalu namanya mulai ramai diperbincangkan dan orang-orang berakhir tak menyukainya.

Menjadi tidak disukai, artinya tidak mendapat teman yang tulus. Meski tidak menunjukkannya secara terang-terangan, Zinnia jelas tahu namanya kerap jadi bahan gosip yang lezat di meja kantin, disantap dengan lahap hingga bel masuk berbunyi. Tak apa, selama mereka tidak megusiknya, siapa peduli menjadi tidak disukai.

Zinnia cukup beteman dengan Diana. Selebihnya, dia bisa melakukan semua hal sendiri. Mengerjakan PR sendiri, melakukan tugas kelompok sendiri pun tak masalah. Contoh lain saat sekarang, pergi ke toilet sendirian juga bukan hal yang menakutkan. Gadis itu terbiasa mandiri. 

Setelah merapikan diri, Zeinnia menarik pintu toilet. Pintu tidak bergerak! Apakah seseorang sengaja menguncinya dari luar? Setelah mencoba menarik gagang beberapa kali lagi, cewek itu mengembus napas, mencoba menenangkan diri.

Situasi seperti ini sudah diprediksi oleh Zinnia. Oleh karena itu dia selalu membawa ponselnya kemanapun dia pergi, dengan kartu sim yang berisi kuota, dan baterai yang selalu dia pastikan terisi full.

Solusi saat ini sangat gampang. Zinnia menyalakan layar ponsel, membuka menu kontak untuk mencari nomor telepon wali kelasnya.

Baru akan mengetuk tombol di layar ponsel, pintu tiba-tiba bergerak. Zinnia dengan tangkas menarik gagang pintu hingga terbuka. Begitu kakinya melangkah keluar, seember air mengguyur sepatunya. Zinnia menunduk sejenak, lalu melihat ke depan.

Seorang murid cowok berdiri di hadapannya. Tunggu, bukan berdiri, tepatnya membungkuk membelakanginya dengan kedua kaki terbuka lebar. Ketiaknya memeluk kain pel, sementara dari sela kakinya, Zinnia bisa melihat tangannya memegang bibir ember dalam posisi mengarah ke sepatunya.

Saat cowok itu menjatuhkan ember, barulah Zinnia dapat melihat wajahnya menyembul dari sela kakinya yang terbuka lebar. Itu Alvaro yang entah sedang melakukan akrobat konyol apa dengan pekerjaannya.

"Oh, maaf!"

"Kekanakan banget." Zinnia mencibir. 

"Hah?" Alvaro menegakkan tubuh, berbalik menghadap Zinnia.

"Kalau begini cara kamu membalas dendam, kamu kekanakan banget!" tukas Zinnia dengan lebih jelas. 

Tentu, yang dia maskud adalah menguncinya di kamar mandi dan menyiram sepatunya dengan air. Dua hal itu terlalu kekanakan untuk dilakukan. Cewek itu merebut ember dari tangan Alvaro dengan kasar sebelum cowok itu sempat berucap lagi. Zinnia masuk ke kamar mandi, menyedok air dalam bak, lalu dengan penuh emosi dia melayangkan air di dalam ember ke kepala Alvaro. Cowok itu basah kuyup.

"Tunggu!" seru Alvaro. Tapi Zinnia sudah masuk lagi ke kamar mandi dan mengulangi aksinya.

"Kamu kasih satu, aku bisa kasih dua!" Zinnia balas berseru.

Alvaro menghela napas pasrah. Mengibas-ngibaskan air di seragamnya, cowok itu menatap Zinnia dengan sendu. "Sumpah aku nggak sengaja nyiram kamu, Nia," katanya, kali ini nadanya menjadi lembut. "Pintunya tadi kekunci, aku pikir nggak ada orang, jadi mau aku bersihkan, makanya aku siram air."

"Terus kamu berharap aku percaya? Kamu bukan temen aku!"

"Yaudah kalau gitu kita temenan dulu." Alvaro melambaikan tangannya. "Oi, kawan!"

Aksi itu rupanya memicu amarah Zinnia. Cewek itu berbalik lagi ke kamar mandi untuk menyedok air.

Lihat selengkapnya