Stoples Cinta untuk Alvaro

anjel
Chapter #5

Plester Luka

Zinnia tengah membolak-balik buku catatan kimianya begitu sesuatu terjatuh dari sana.

Plester luka?

Seingat Zinnia dia tidak pernah membelinya. Apa-apaan dengan motif emoji tersenyum di plester itu? Sudut bibirnya tiba-tiba berkedut. Menyadari persis siapa pemilik plester itu. Tiba-tiba, satu wajah dengan ekspresi persis seperti emoji pada plester itu muncul dalam kepalanya. Membuat cewek itu menggeleng berkali-kali.

Dia membuka-buka buku catatannya. Di salah satu lembar, terpatri satu tulisan tangan yang agak berantakan.

"Semangat, kamu hebat! Tapi jangan lupa istirahat😊 🤝kawan."

Zinnia menatap tulisan itu agak lama. Alvaro yang menulisnya? Berani sekali mencoret bukunya dengan tulisan tangan jelek seperti itu? Zinnia merobek lembar kertas itu, mengguntingnya kecil, lalu melemparnya ke dalam toples bintang.

Setelah mencari di internet, harga plester emoji itu rupanya cukup mahal. Zinnia memakainya satu di lutut yang terluka karena terjatuh di lapangan tempo hari. Meskipun, agak terlambat sebetulnya. Tapi plester itu lucu, sehingga dia tidak tahan untuk menempelkannya.

Bukan berarti Zinnia melunak. Tidak sama sekali, dia masih membenci Alvaro seperti sebelumnya. Karena itulah, tepat pukul sepuluh, ketika Pak Bambang dengan setelan kaos merah dan training hitam kebesarannya memulai pelajaran olahraga dengan kalimat, "Marilah kita berdo'a menurut agama dan kepercayaan masing-masing."

Zinnia menundukkan kepala dalam-dalam, memejam mata dengan khusyuk. "Semoga hari ini nggak ketemu Alvaro. Aamiin!"

Cewek itu belum pernah semangat dalam pelajaran olahraga yang menuntut fisik. Tapi, pagi itu, dia bahkan ambil barisan paling depan untuk belajar melakukan service bola voli. Dia harus mulai mengasah kemampuannya memukul bola jika ingin membalas perbuatan Alvaro tempo hari. Jangan harap Zinnia akan lupa begitu saja.

***

"Bagaimana ya, Zin, tapi kamu udah pinjam enam buku." Bu Karina tersenyum melihat Zinnia membawa satu eksemplar buku lagi ke hadapan Bu Karina.

"Tambah satu lagi, deh, Bu."

"Kamu sebetulnya udah pinjam delapan buku. Enam di kartu kamu, dua di kartu Diana. Ibu udah kasih keringanan supaya kamu bisa pinjam enam buku, lho. Seenggaknya kembalikan satu supaya bisa pinjam lagi.."

Zinnia melihat pada catatan peminjamannya. Menimbang-nimbang buku mana yang bisa dikembalikan. Tetapi akhirnya menyerah, dia masih membutuhkan semuanya. Termasuk dua novel untuk tugas resensinya. Tapi dia sangat ingin membaca buku yang sedang dipeluknya di meja administrasi itu. A Brief History of Time, karya Stephen Hawking tercetak tebal di cover. 

"Nih, pake punyaku." Seseorang menyodorkan kartu kepada Bu Karina.

Zinnia menoleh. Sudut bibirnya berkedut, menyadari doa yang dia panjatkan pagi tadi rupanya tidak terkabul. Wajah secerah matahari pagi itu lagi. 

"Nah, kalau gini bisa." Bu Karina menerima kartu perpustakaan Alvaro dan mencatat peminjaman di sana sebelum Zinnia sempat protes. Entah untuk alasan apa, dia merasa ada yang tidak beres. Entah sejak kapan Alvaro tiba-tiba terus menempel kepadanya. Apa dia takut dilaporkan ke BK perkara kejadian di toilet tempo hari?

"Kamu pinjam buku apa, sih? Wih tebalnya." Alvaro bersiul begitu membolak-balik buku yang diserahkan Bu Karina padanya. Dia tidak menyerahkannya pada Zinnia, malah ngeloyor pergi begitu saja.

Buku itu hanya ada satu eksemplar di perpustakaan Alibasyah! Zinnia berlari kecil mengekori Alvaro. Itu miliknya!

"Bu ... bukuku!" kata Zinnia.

"Oh, akhirnya udah mau ngomong, nih? Udahan ngambeknya, kawan?"

"Stop manggil aku kayak gitu, jijik tauk!" protes Zinnia. "Kenapa kamu tiba-tiba ngekorin aku terus, sih? Takut aku laporin ke BK perkara kemarin? Sebenarnya aku cuma main-main, aku udah malas berurusan sama kamu. Kecuali kalau kamu nggak berhenti ganggu aku!"

Alvaro malah terkekeh. Telunjuknya teracung ke wajah Zinnia. "Aku nggak takut dilaporin ke BK. Dan untuk meluruskan masalah, bukan aku yang ngunciin kamu di toilet. Berhenti nuduh yang enggak-enggak!" 

Lihat selengkapnya