Alvaro itu ... satu-satunya hal baik yang dia punya adalah wangi. Dia selalu beraroma lemon segar.
Zinnia menggulung kertas kecilnya, lalu melemparnya ke dalam stoples origami bintang.
***
Tahu apa yang dibenci Zinnia selain siswa yang suka mencontek? Drama di kelasnya yang tak kunjung selesai. Zinnia harus menyumpal telinga dengan earphone di pagi berikutnya, ketika Tina yang baru sampai kelas langsung heboh dengan sebuah berita kehilangan.
Anak itu bahkan tak berhenti bicara dan mulai menuduh-nuduh ketika mereka sudah berada di ladang kecil di halaman belakang sekolah untuk mengikuti pelajaran Muatan Lokal dengan tema bertanam sayuran. Zinnia tidak cukup bersemangat mengingat pelajaran kali ini berbarengan dengan kelas IPA 4.
Minggu lalu, mereka sudah membersihkan gulma dan merapikan kembali bedengan tanah selepas panen kangkung. Kali ini, ladang kecil itu akan dimanfaatkan untuk menanam sawi, yang diharapkan bisa dipanen sebelum libur semester datang.
Kusuma dan Mada selaku ketua kedua kelas datang membawa banyak plastik kecil berisi benih untuk disemai, serta kabar bahwa pak Musdi tak bisa hadir. Hal itu membuat celoteh Tina makin menjadi-jadi. Anak itu sekarang sudah berkacak pinggang di hadapan Rianti.
"Sumpah, dari semua anak kelas, kamu yang paling mencurigakan!" tukasnya tanpa basa-basi. "Waktu itu, jam setengah satu aku cek masih ada. Ditinggal ke kantin sebentar, tau-tau udah hilang. Siapa lagi, sih, yang suka mojok di kelas selama istirahat kalau bukan kamu?"
Rianti hanya menggeleng. Anak itu tak bersuara, namun wajahnya jelas tampak panik. Apalagi, saat ia sadar atensi anak kelas sudah tertuju padanya.
"Ikhlasin ajalah, mungkin dia butuh duit buat beli parfum," seloroh Jaya, yang disambut gelak tawa anak kelas.
"Masalahnya, uangku nggak dikit. Itu buat bayar uang bulanan sekolah, empat ratus ribu yang hilang!"
"Tunggu." Marvin, salah satu anak kelas IPA 1 lainnya berusaha menengahi. "Kejadiannya tuh kemarin?"
Tina menggeleng. "Selasa kemarin, aku udah ngadu sama Pak Bambang, katanya mau cek CCTV, tapi ternyata CCTV lorong kita mati."
Zinnia memutar bola mata dengan malas. Cewek itu menepi ke belakang kerumunan, kemudian melambai pada Diana yang berlari ke arahnya. Pipi Diana yang tembem tampak memantul-mantul dengan imut saat ia mendekat.
"Ah, benci banget pelajaran cangkul-mencangkul, nih. Mana Pak Musdi nggak hadir."
"Serius, Di, apa sih yang nggak kamu benci? Ngeluh mulu," ujar Zinnia.
"Pelajaran mencintai?" Diana terkikik sendiri. "Atau pelajaran masak-masak, pasti seru. Itu heboh apa, sih?"
"Biasa, drama kelas." Zinnia menghela napas. Melihat Tina yang masih berusaha mengkonfrontasi Rianti dan anak-anak lainnya menonton sambil melontarkan candaan-candaan yang tak mengenakkan. Kusuma yang berusaha menjelaskan bahwa mereka sudah harus selesai menyemai benih sebelum jam pelajaran berakhir pun tak digubris.
Merasa diabaikan, ketua kelas itu kemudian meletakkan plastik benih ke tanah. Mengeluarkan ponselnya, lalu duduk sembarangan di salah satu batu besar. "Ya, Wan, main game, yuk!"
Jaya dan Marwan menoleh, berdecak. "Pemimpin nggak ada akhlak! Orang lagi heboh, malah ngajak main game. Yaudah ayok, deh!"
"Ikut, dong." Seseorang tiba-tiba ikut menjatuhkan bokong ke batu, membuat Jaya dan Kusuma menoleh berbarengan. Kepala Zinnia tanpa sadar juga ikut tertoleh karena wangi lemon menusuk hidungnya. Di sana duduk Alvaro, ikut mengeluarkan ponsel dari saku celana.
Alvaro itu ... pastilah tipe cowok yang punya banyak teman di mana-mana sampai dia mungkin tidak akan ingat nama semuanya. Sementara Zinnia makin merapatkan tubuh pada Diana. Dia tak pernah berhasil berteman dengan siapapun. Hanya Diana yang dia punya.
"Tinggal ngaku doang apa susahnya!" Itu teriakan Tina, yang disusul suara heboh kerumunan IPA 1, membuyarkan pikiran Zinnia.