Stoples Cinta untuk Alvaro

anjel
Chapter #8

So Called Empati

Alvaro itu ... meskipun wajahnya mirip emoji smilling face with smilling eyes. Tapi, kata-katanya terkadang pedas. Kata-kata pedas tidak cocok dengan image wajahnya.


***


Anak-anak kelas rupanya belum move on dari drama pencurian uang. Bagi Tina dan gerombolan temannya, kejadian tempo hari menjadi bahan tambahan untuk mengolok-olok Rianti. Sekarang, tak hanya 'si bau ayam', Rianti juga dijuluki 'maling kelas'.

Hari itu Zinnia memutuskan untuk istirahat di kelasnya meski gendang telingnanya berdenging mendengar obrolan anak kelas. Do'a pagi harinya masih sama, supaya tidak bertemu Alvaro sepanjang sisa hari. Kali ini, dia bertekad agar do'a itu terkabul dengan sedikit usaha. Sayangnya, meskipun LKS Fisika di atas meja terbuka pada lembar soal pilihan ganda, tangan yang memegang pulpen itu justru melakukan gerakan lain. Alih-alih melingkari pilihan jawaban benar, Zinnia malah menggambar botol Yakult di ruang kosong pada bagian bawah halaman.

Ucapan Alvaro entah bagaimana berhasil mengusik pikirannya. Apa katanya kemarin, empati Zinnia telah hilang? Zinnia berdecak sebal. Empati itu masih ada, hanya saja telah lama dikubur olehnya. Mungkin, sekarang sudah rusak dimakan oleh cacing tanah. Dia sama sekali tidak berniat menggalinya kembali.  

Alvaro itu ... dia bahkan tidak tahu hidup seperti apa yang pernah dihadapi Zinnia. Lantas, apa hak cowok itu sehingga berani menghakiminya?!

Alvaro sialan! Si tukang cari perhatian! Berani-beraninya makhluk tidak penting itu lari-larian dalam kepala Zinnia! Zinnia mencoret-coret gambarnya yang telah ditambahi tulisan dengan gerak serampangan, serupa galaksi spiral. Alvaro itu kenapa, sih? Di suatu waktu dia bersikap sok manis, lain kali kata-katanya sangat tajam. 

Tawa membahana di sudut kelas kembali terdengar. Ekor mata Zinnia tanpa sadar melirik ke bangku Rianti yang tampak kosong. Setelah kejadian fitnah tempo hari dan anak kelas terus membahasnya, Rianti tidak lagi menghabiskan waktu istirahat di dalam kelas. Sementara cewek itu tidak di tempatnya, anak-anak kelas masih saja mengolok-oloknya.

Tidakkah Rianti menyedihkan? Zinnia berdecak seraya merogoh ponsel dari sakunya. Akan dia tunjukkan bagaimana so called empati itu seharusnya digunakan. Bangkit dari bangku, cewek itu berjalan ke meja Tina. Tanpa basa-basi, layar ponselnya yang menyala teracung ke depan hidung Tina, membuat cewek tinggi itu langsung mengerjap kebingungan.

"Ini foto kelas di hari kejadian, jam dua belas empat lima. Kalau kejadiannya diatas jam setengah satu. Sayangnya di kelas nggak ada Rianti, tapi malah Laura."

"Hah?" Tina masih tampak bingung sebab Zinnia mendadak sekali mendatangi mejanya. Laura di sampingnya meraih cepat ponsel Zinnia, mengamati foto di layar.

"Siapa yang jamin itu foto di hari kejadian?"

"Ada tanggal dan jamnya, kok."

"Aneh banget, ngapain ngefoto meja?" Akhirnya Laura hanya berkomentar begitu. Ia ragu-ragu mengopernya pada Tina yang ikut menadahkan tangan dengan tidak sabaran.

"Cuma mau memastikan kalau kalian semua nggak ada yang buka tas aku dan diam-diam nyontek PR aku."

"Dih, si songong ini. Terus, apa maksud kamu nunjukin foto ini? Mau fitnah aku?" Laura menyipit pada Tina. "Kamu nggak akan percaya, kan, Ti? Lagian ngapain juga aku nyuri uang temen sendiri."

Zinnia berdehem, menegangkan badannya. "Karena kalian semua tolol, egois, dan aneh. Setelah ada orang lain yang ngaku jadi pelaku, kalian nggak percaya dan tetap nuduh Rianti padahal nggak ada bukti sama sekali. Sekarang, aku kasih bukti kalau Laura yang ada di kelas di sekitar waktu kejadian, tapi kalian masih menyangkal." Zinnia memandang Tina tepat di matanya dan berujar dingin. "Bisa nggak kamu menghakimi temen sendiri kayak kamu menghakimi Rianti?"

Tina terdiam. Anak itu sekali lagi melihat pada layar ponsel Zinnia. Bibirnya tertekuk. Ia mengembalikan ponsel pada Zinnia sambil tersenyum miring. "Tapi aku juga bisa menuduh kamu, dong? Foto ini, artinya kamu juga ada di kelas waktu itu."

Zinnia tidak ragu mengangguk. "Boleh, tapi aku yakin kamu nggak akan berani."

Tina berdiri dari kursinya. Sementara itu, Kusuma sudah berpindah duduk ke kursi Zinnia. Ia mulai menabuh meja kayu seolah keriuhan di kelas belum cukup sehingga ia harus menambah musik pengiring. "Yuk, gelut lagi, yuk! Ayo gelut!" katanya riang.

"Tuduhan nggak berdasar kamu itu, cuma buat memuaskan ego brutal kamu ke anak paling lemah dan nggak mungkin melawan. Kamu sebenarnya sama sekali nggak peduli uangnya bisa balik apa enggak," kata Zinnia. "Sekarang, kalau kamu tau temen kamu sendiri berpotensi besar jadi malingnya, bisa kamu nuduh dia? Sebrutal yang kamu lakuin ke Rianti?"

Lihat selengkapnya