Rianti tak percaya gosip anak telah berubah haluan. Kemarin, mereka masih heboh dengan drama uang Tina dan ejekan-ejekan yang tak kunjung selesai tentang dirinya. Mereka seolah selalu punya bahan untuk dibahas. Hari ini, begitu dia menginjakkan kaki di kelas, anak-anak Sebelas IPA 1 tak menggubrisnya. Sebaliknya, Zinnia menjadi topik hangat menggantikan namanya. Zinnia dan Alvaro.
"Anjir, aku pikir itu cewek beneran titisan manekin, siapa sangka dia bisa suka sama Alvaro."
"Pantesan ya, bikin heran, nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba dia ngebela Rianti. Zinnia gitu, dari kelas sepuluh mana pernah sekalipun dia peduli sama kejadian apapun di kelas."
Jaya mengangguk. "Biasanya kayak nggak butuh temen."
Kusuma menarik kursi lebih dekat. "Kalian mau tau reaksi Alvaro waktu aku kasih lihat tulisan di buku si jin budek?"
Tina, Jaya, dan Edo mendengarkan dengan saksama. Sementara pintu kelas kembali terbuka, kali ini menampilkan Zinnia yang langsung berjalan lurus ke mejanya.
"Cuma bilang 'oh oke' terus melengos pergi. Bayangin malunya kayak apa!"
Edo menaikkan alis. "Nggak heran, aku juga males banget kalo disukai cewek modelan dia."
"Jangankan disukain, dia mau temenan juga bakalan aku tolak," sahut Tina.
Rianti melirik pada Zinnia yang seperti biasa, di telinganya terpasang earphone, tampak larut dalam dunianya sendiri. Entah untuk alasan apapun Zinnia membelanya tempo hari, tapi Rianti tak bisa menyembunyikan rasa bersyukurnya. Ia merasa perlu berterima kasih, atau setidaknya meminta maaf karena membuat Zinnia jadi terlibat masalah. Tapi, bisakah ia bicara padanya? Rianti masih ciut karena bentakan Zinnia di depan pintu.
Cewek itu, dia tidak terlihat seperti pura-pura cuek. Di mata Rianti, Zinnia betulan acuh. Tidak seperti dirinya, gadis berambut sebahu itu punya power. Bahkan jika seluruh anak sekolah membencinya, dia masih bisa berdiri angkuh sebab barisan guru siap membelanya.
"Aku yakin Alvaro udah banyak dengar cerita dari teman-teman kelasnya. Dia, kan, lumayan dekat sama Mada."
"Pacaran sama dia juga percuma kan, nggak bisa nyontek juga? Nggak ada faedahnya."
"Orang sih pacaran sama cewek pintar biar ketularan pintar. Lah pacaran sama dia apa faedahnya? Temen deketnya aja ga pernah dikasih contekan."
"Tapi, heran nggak sih, kok Diana masih mau main sama dia?"
"Kasian doang. Kan dia ngekorin Diana mulu. Ntar, kalo Diana jadian sama Aldo juga bakal ditinggal dia."
Gelak tawa kembali membahana memenuhi ruang kelas Sebelas IPA 1. Terdengar suara ketukan di pintu kemudian, menginterupsi percakapan. Fani, anak kelas dua belas melongokkan kepala.
"Zinnia dipanggil pak Bambang ke kantor," ujarnya sekali lintas, lalu melengos pergi.
Zinnia menegakkan badan. Benar juga, dia hampir lupa soal olimpiade yang akan datang. Waktunya tinggal beberapa minggu lagi. Gara-gara banyak pikiran, dia sama sekali belum menemui Pak Bambang yang katanya mau memperkenalkan dia pada seorang mahasiswi PPL yang akan membantunya belajar.
Berbekal buku dan pena, serta earphone yang masih melekat di telinga. Gadis itu buru-buru turun ke lantai satu, menuju ruang guru.
***
"Namanya Anggun, mahasiswa FKIP Fisika Universitas Hanaaffi. Dia yang mengajukan diri sendiri, dulu dia alumni sini juga."
Pak Bambang menyeret kalender di meja. Ia mengetukkan jarinya pada tanggal yang dilingkari merah. "Masih dua minggu lagi, kalau satu minggu bisa dua kali pertemuan, artinya kamu punya waktu empat kali pertemuan buat mempersiapkan diri."