Mencontek hanya Milik Mereka yang Tidak Percaya Diri!
Adalah judul dari salah satu artikel yang rilis di mading pagi itu, membawa kehebohan ke seantero sekolah. Di bawah judul, ditulis miring dengan font Arial 11 pt, Zinnia Novida, yang rupanya belum puas jadi musuh nasional anak sebelas IPA selama hampir dua tahun. Kini, ia resmi musuh satu sekolah.
Meskipun dicetak pada kertas merah muda dengan ornamen warna-warni di pinggirnya, tetap saja tak dapat mengubah kalimat-kalimat pedas di artikel tersebut menjadi lebih manis. Nyatanya, tiap orang yang mampir membaca, berakhir dengan menggertakkan gigi dan mendesis sebal.
"Temen kalian, tuh!" tukas Aditya, ketua OSIS dari IPS 1 yang berdiri di samping Airin dan Selly. "Gila, harga diriku rasanya tersayat-sayat."
Airin yang matanya masih lurus menatap mading, mendekatkan bibir ke telinga Selly. "Aku juga," katanya. "Makin pahit lagi, harga diriku disayat sama mantan temen sendiri."
Selly mengangguk. Cewek itu hampir merasa tak percaya Zinnia benar-benar merilis artikel tersebut. Dulu, dia memang pernah membahasnya di grup messenger mereka, sewaktu meluapkan kekesalan pada teman kelasnya. Tapi ibarat air yang dipanaskan dalam waktu lama, kekesalan itu menguap seiring waktu berlalu.
"Sok banget nih anak, gila!"
"Yakin dia sendiri nggak pernah nyontek? Ck, munafik!"
"Siapa sih anak polos yang seumur hidupnya nggak pernah nyontek?!"
"Kalo jadi Diana, aku udah males temenan sama dia!"
"Tapi diksinya bagus." Adalah satu-satunya kalimat pujian yang langsung tenggelam di antara sahut-sahutan komentar ganas anak-anak SMA Alibasyah yang makin riuh. Satu-satunya tawa kompak terdengar begitu Radit dari sebelas IPA dua mencoret kertas di mading yang memang tak dilindungi kaca dengan gambar kambing.
***
Hebatnya, yang dikomentari masih duduk manis di bangku kelas, tangannya sibuk menari di atas kertas penuh coretan angka dan simbol. Sesekali, matanya melirik pada buku paket yang terbuka di ujung meja, mulutnya merapal sebentar dan kepalanya terangguk, lalu mata hitamnya kembali pada kertas coretan. Seolah telah mengerti, ia melanjutkannya dan tersenyum puas begitu menemukan hasil yang cocok untuk soal yang dikerjakannya.
Tepat ketika ia sedang membaca soal selanjutnya, pintu kelas terbuka. Pak Rahmat muncul bersamaan dengan arus anak-anak kelas yang berlarian di belakangnya. Zinnia menutup buku, ia sudah menyiapkan diri semalaman untuk bertempur dengan soal-soal kimia.
"Kali ini dua lima pilihan ganda, lima esai," kata Pak Rahmat yang mulai mengoper kertas coretan. "Seperti biasa, waktu sampai bel istirahat. Kalau butuh, kalian boleh menggunakan kalkulator ilmiah. Hanya kalkulator, tidak boleh ponsel! Ingat, UAS sudah dekat, kalian setidaknya sudah harus menguasai delapan puluh persen materi."
Suara tapak pantofel hitamnya memeriahkan kelas selagi beliau berkeliling untuk membagikan soal dan memastikan meja dan laci para murid bersih dari berbagai macam kecurangan. "Dan yang terpenting, dilarang keras mencontek! Seperti tulisan di mading kita minggu ini, saya harap kalian semua udah baca."
"Ya!" Suara pelan dan malas anak-anak menyahutnya.
"Mencontek hanya milik mereka yang tidak percaya diri!" Pak Rahmat mengulangi judul tersebut, membuat Zinnia di meja paling depan seketika memutar kepala dengan canggung.
Seperti biasa, yang dilakukan Zinnia adalah fokus pada kertasnya, mengerjakan seteliti dan secepat yang dia mampu. Telinganya menjadi tumpul, karena baterainya hari itu hampir seluruhnya dialirkan ke otaknya yang memutar ulang hafalan rumus, serta tangannya yang kembali menari tanpa henti di atas kertas coretan. Ia ingat sudah mempelajari dan mengulangi contoh-contoh soal di buku paket. Semuanya ada di luar kepala seperti biasa. Dia tersenyum puas ketika nyaris semua soal bisa ia taklukkan.
"Bagus, Zinnia!" puji Pak Rahmat begitu ia mengumpulkan lembar jawaban paling pertama. "Tapi kamu jangan keluar dulu. Hari ini kalian harus bagi kelompok untuk praktikum Koloid minggu depan."
Sayang sekali, padahal Zinnia berniat segera ke perpustakaan untuk mengembalikan beberapa buku pinjaman.
Zinnia akhirnya pasrah menunggu hingga bel istirahat berbunyi dan Pak Rahmat memberi instruksi lebih lanjut mengenai pembagian kelompok. Masing-masing beranggotakan tiga hingga empat orang, dengan pembagian yang adil.
Zinnia tidak ambil pusing dengan tugas kelompok. Seperti biasa, meski anak kelas tidak menyukainya, tapi ia tahu persis siapa butuh siapa dalam tatanan tugas kelompok.