Stoples Cinta untuk Alvaro

anjel
Chapter #2

SMA Alibasyah

Katanya, hidup ini persis sebuah drama. Tapi skenarionya begitu kompleks, rumit, sekaligus ajaib. Masing-masing adalah pemeran utama. Antagonis atau protagonis adalah pilihan. Kau punya peran, pun begitu aku. Meskipun kita tidak berada di perahu yang sama, tapi kita berlayar di satu samudra, di bawah langit yang sama. Menuju arah yang sama. Menyongsong kebahagiaan yang barangkali ada di ufuk barat.

***

Terlihat kertas origami yang dilipat menyerupai bintang bertebaran di lantai kamar berdinding kayu yang sudah mulai pudar warnanya. Di dekat pintu, Zinnia yang masih bergelung selimut tengkurap di atas lantai, dengan kaki sesekali menendang pelan pintu yang tertutup. Setiap gerakan pelannya menghasilkan bunyi berderik khas papan kayu tua.

Kamar kayu itu cenderung muram untuk ukuran kamar remaja, namun Zinnia berusaha memperbaikinya dengan warna-warni origami yang dilipat jadi burung, bunga, dan kelinci. Ia menggantungnya di berbagai sudut kamar.

Zinnia meraih ponsel dan menyalakan layarnya. Jam menunjukkan pukul enam pagi, gadis itu bangkit, menyudahi kegiatan tidak bergunanya. Dipungutnya semua bintang origami yang bertebaran di kamarnya yang muram, memasukkannya ke dalam stoples bekas permen yang dia bawa dari sekolah. Ia menaruhnya di atas meja kecil penuh tumpukan buku.

Itu satu dari lima kesenangannya di masa remaja. Pertama, belajar. Kedua, belajar. Ketiga, belajar. Keempat, membaca novel. Kelima, menganyam origami kertas.

***

SMA Negeri 13 Alibasyah

Matahari bersinar cerah di atas kepala, kontras dengan wajah siswa-siswi Sebelas IPA 1. Di ruangan, berkutat dengan selembar kertas dan pena, semua wajah bertekuk. Hampir semua orang benci kuis matematika menjelang istirahat. Pengecualian untuk satu orang.

Satu wajah tersenyum simpul di meja kedua di barisan pinggir. Cewek berponi itu menutup pulpen, lalu tiba-tiba berdiri. Jam perlajaran Matematika bahkan belum terpakai setengahnya ketika cewek itu menjadi yang pertama menyerahkan lembar soal ke meja guru.

Zinnia Novida, juara satu pararel SMA Alibasyah sejak kelas sepuluh. Aktif juga meramaikan pekan olimpiade sains tingkat regional. Bersenandung kecil, cewek itu menuruni tangga ke lantai satu. Dia memeluk beberapa buku tebal di dadanya.

Ada bangku panjang di balik salah satu pohon ketapang di pinggir lapangan Voli. Zinnia senang duduk di sana sambil mengulas ulang materi untuk mata pelajaran berikutnya.

"Cewek yang disana, awas!" Itu sebuah pekikan nyaring murid cowok dari arah lapangan voli.

"Awas!"

Zinnia menoleh pada suara riuh, bersamaan itu, benda berkecepatan tinggi menghantam punggungnya. Sangat keras, sehingga membuatnya hilang keseimbangan. Buku-buku tebalnya berserakan. Lutut dan telapak tangannya membentur lantai.

"Mati kita, kena Zinnia!" Entah suara siapa. Zinnia tidak melihat karena terlalu sibuk menyadarkan dirinya dari shock.

Seseorang berlari menghampiri, berusaha membantu memungut buku-bukunya yang berserakan. Saat berhasil menyadarkan diri, hal pertama yang Zinnia lihat ketika mendogak adalah sebuah tangan terulur.

Seorang cowok dengan seragam batik putih-cokelat berdiri memegang buku-bukunya. Satu tangan lagi terulur pada Zinnia. Hari itu hari rabu, murid SMA Alibasyah harusnya mengenakan seragam batik putih-hijau. Tentu, pengecualian untuk murid pindahan.

"Kamu nggak apa-apa?"

Pertanyaan basa-basi busuk. Zinnia jelas jauh dari kata baik-baik saja. Sepuluh menit waktunya terbuang sia-sia. Dan apa-apaan seragam putih-cokelat yang tampak familiar itu? Alibasyah rupanya menerima sampah dari SMA 12 Siliwangi?

Cowok di hadapan Zinnia berdiri dengan wajah tersenyum. Senyum yang terlalu lebar sehingga Zinnia harus menahan diri untuk tidak menonjoknya.

"Kak, maaf ya, sini aku bantu."

Zinnia menepis tangannya dengan kasar. Mata gadis itu tertuju pada benda bulat yang teronggok di dekat kakinya. Dia memungutnya dengan kasar. Barulah dia memberi atensi utuh pada lawan bicaranya. Cowok tinggi berkulitkuning langsat dengan seragam penuh keringat dan kaki celana yang menggantung di atas mata kaki. Rambut hitam tebalnya lolos dari tengkuk sehingga tampak berantakan. Tidak ada hal baik yang bisa Zinnia lihat dari murid pindahan ini. Jikapun ada, hanyalah aroma parfum lemon segar yang menguar lembut ke hidungnya.

Lihat selengkapnya