Suara bising televisi dari ruang tengah menjadi satu-satunya pemecah keheningan di rumah beraksen megah tersebut. Sayup-sayuup suaranya terdengar hingga ke kamar di sudut ruangan di lantai dua. Begitu suara tenang pembawa berita menyudahi narasi soal kebakaran hutan dan beralih ke tajuk politik, volume televisi tiba-tiba dinaikkan dengan brutal. Bukan berita istimewa, hanya tentang sentimen negatif masyarakat terhadap anak salah satu salah satu paslon kepala daerah yang terlibat masalah kriminal.
Namun, mendengarnya cukup membuat Alvaro menghela napas seraya mengerjapkan mata. Menutup lemari, cowok itu membawa setumpuk kaos yang kemudian ia jejalkan dalam ransel besar berbahan kanvas. Sedikit kesulitan, ia menekan-nekan paksa seluruh pakaian yang meluap di dalam tas agar bisa mengancingkan resleting ransel dengan sempurna.
Pintu terjeblak kasar begitu ia selesai membereskan pakaiannya. Alvaro menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya dalam balutan dress panjang bewarna merah terang sedang bersedekap dada di ambang pintu. Tangannya yang menggenggam remot televisi menjelaskan maksud kedatangannya.
Ia menatap Alvaro lama sekali, kemudian dengkusan kasar lolos dari bibirnya yang dipoles gincu merah merona. Biarpun polesan itu terlalu tebal, namun dia tetap terlihat cantik di usianya yang mungkin sudah mencapai kepala lima. Cantik dan berkuasa.
"Saya tahu persis dari mana bakat menjadi biang masalah itu kamu dapat." Ada nada tak mengenakkan dalam suaranya.
Alvaro memilih menundukkan kepala. "Maaf."
"Saya tidak mau dengar masalah tidak penting kamu di sekolah atau dimanapun. Jangan pernah libatkan keluarga ini!"
Si wanita menghentak-hentakkan kaki. Dari tempat berdirinya, meski menunduk, Alvaro tahu mata itu masih menatapnya dengan nyalang.
"Kesalahan." Si wanita bergumam. "Sejak awal saya tahu memungut kamu itu sebuah kesalahan. Parasit, tidak tahu diri."
"Setelah ini aku nggak akan bikin kalian pusing lagi." Alvaro yang sedari tadi banyak menunduk, akhirnya berani mengangkat wajahnya. Wanita di hadapannya menyeringai masam mendengarnya. Menyandang ransel ke bahu, Alvaro melanjutkan kalimatnya. "Aku bakal pergi hari ini, itu yang Mama mau dari dulu, kan?"
"Cih! Anak bau kencur, sok mengerti dunia. Bisa apa kamu di luar sana? Punya uang aja enggak. Jangan sampai media dapat bahan dan balik menyasar kami, menganggap kami menelantarkan kamu."
"Aku tahu apa yang aku lakukan," jawab Alvaro cepat. "Aku nggak akan jadi kriminal kayak anak di berita itu. Aku akan jaga nama baik keluarga."
Alvaro berjalan ke arah pintu, tempat wanita yang ia panggil mama masih bersedekap dada. Begitu jari-jemari kanannya tersodor ke hadapan, sekonyong-konyong wanita itu memutar badan dan berjalan dengan hentakan kasar. Namun, belum berapa langkah, dia Kembali menoleh, ditatapnya Alvaro sekali lagi dengan amarah yang meluap-luap, seolah dengan begitu ia bisa memusnahkan makhluk di depannya.
"Sekali kamu angkat kaki dari rumah ini, pintu ini akan selamanya tertutup," katanya tegas. "Jangan pernah pulang lagi."
Dan Alvaro kelewat paham dengan hal itu. Rumah megah itu ternyata selamanya memang tidak akan pernah menjadi rumah tempat pulang baginya. Maka, setelah mengencangkan posisi tas di bahu, ia pergi dengan langkah ringan.
***
Lima jari ramping terarah pada berkas sinar matahari yang kelewat terik di atas kepala. Tangan itu milik seorang cowok yang sudah setengah jam berdiri di hadapan gerbang Alibasyah, mengamati lalu-lalang siswa yang tak satupun dikenalinya. Dia menyandang dua tas di bahunya. Satu tas ransel sekolah, sementara satu lagi adalah tas serut berisi bola voli.