Alvaro itu ... barangkali penyihir dari negeri antahbarantah. Siapa sangka, dia punya kemampuan merapal mantra pada sebungkus permen, untuk memperbaiki rasa di suatu hari yang pahit. Mungkin, pada senyumnya juga ditiupkan mantra, sehingga seseorang bisa terbawa gelombang dan terjebak dalam pusarannya.
Zinnia merobek kertas yang dia tulisi, meggulungnya pada bungkus permen kuning. Seperti biasa, gulungan itu kembali dilempar ke dalam dunia kecil penuh bintang di dalam stoples.
***
From : Diana
"Gila lo, Zin! Sumpah gila! Kayak biasa, aku jadi ikut-ikutan kena gunjingan anak kelas gara-gara temenan sama kamu. Haha"
Hujan pertama di bulan Mei akhirnya luruh. Zinnia mengacak-acak rambutnya dengan gemas. Ia membuka chat dan mendapati pesan itu dikirim oleh Diana.
Zinnia mengirimkan emot sedih sebagai balasan. Pesan itu kemudian hanya dibaca oleh Diana yang pastilah sedang sibuk berkencan dengan pujaan hatinya, Aldo Sebastian dari klub teater. Zinnia pikir Aldo dan Diana tidak seserius itu. Tapi, nyatanya, setelah gabung dengan klub Teater, Diana berhasil pedekate dengan Aldo. Sesuai janjinya, Diana sepertinya benar-benar berniat mengesampingkan Zinnia begitu dia dekat dengan Aldo.
Mengingat hal itu membuat Zinnia berdecak sebal, membuat beberapa orang menoleh heran padanya. Benar saja, Diana tiba-tiba membatalkan janji temu rutin mereka di kafe karena lebih memilih membahas naskah drama untuk pertunjukan bulan bahasa bersama Aldo.
Zinnia yang sudah terlanjur dalam perjalanan akhirnya memutuskan berlari ke apotek di depan taman kota, begitu turun dari angkutan kota. Selain untuk berteduh, dia juga berniat membeli vitamin dan persediaan obat maag yang sudah habis.
Sejak dulu, ia punya kebiasaan belajar hingga larut malam. Membuat Zinnia harus mempercayakan daya tahan tubuhnya pada kapsul-kapsul vitamin. Belum lagi, dia akan punya tambahan waktu belajar yang membuat waktu tidurnya kembali berkurang.
Seperti yang dia bilang, dirinya bukan seseorang yang dikaruniai otak cerdas sejak lahir. Sangat jauh dari kata 'si paling sempurna'. Terlebih, meskipun mudah menyerap pelajaran, tapi daya ingatnya singkat. Cewek itu bisa langsung mengerti rumus matematika begitu dijelaskan oleh guru, namun akan melupakannya lagi satu minggu kemudian. Tidak seperti Leni dan Mada, juara kelas Sebelas IPA 2 dan Sebelas IPA 4 yang dulu, sewaktu mengikuti kelas persiapan olimpiade, bisa leluasa menjelaskan materi yang telah lewat setahun dipelajari.
Zinnia tidak begitu. Jika ada yang heran mengapa dia bisa terus menjadi juara paralel Alibasyah, hal itu semata-mata karena ia terlalu giat belajar. Bukannya merendah, dia memang bukan cewek yang pandai melakukan banyak hal, apalagi menyangkut kegiatan fisik dan sosial. Karena itu, ia rela menghabiskan banyak waktu untuk belajar dan menghafal sebanyak-banyaknya materi, demi bisa menjadi nomor satu dan tetap terlihat oleh lingkungannya. Dengan begitu, dia tidak makin tersisih di dunia selalu menuntut ini.
Sejak kecil, itu yang Zinnia pelajari. Bagaimana Mama dengan bangga menggendong Dania yang membawa pulang berbagai piala, namun tak begitu memedulikan Zinnia yang tertinggal. Bagaimana sikap penakut dan pendiam membuatnya tak punya teman di sekolah. Bagaimana orang-orang dewasa tidak serius membelanya sewaktu dia bertengkar karena membela seseorang yang dibully oleh si anak orang kaya.
Dunia hanya memberi ruang pada mereka yang punya kelebihan.