Stoples Cinta untuk Alvaro

anjel
Chapter #14

Tiba-Tiba Teman

Alvaro tidak begitu suka hujan.

Bukan karena apa-apa, hanya saja satu adegan buruk pernah terjadi di masa kecilnya ketika hujan turun. Sesuatu itu, sialnya, menjadi ingatan yang terpatri paling jelas dalam kepalanya. Tidak peduli seberapa keras cowok itu berusaha mengubur atau menimpanya dengan ingatan-ingatan lain. Bayangan itu akan berputar kembali serupa petrichor yang menguar tiap kali hujan turun.

Ia merapatkan diri ke pinggir halte, menarik kupluk dari hoodie yang dikenakannya untuk menaungi kepala. Menurut ponselnya, sekarang pukul setengah empat. Pandangannya kini mengarah ke jalanan yang basah dan gelap, berusaha keras menahan gejolak untuk melemparkan diri ke jalan raya.

"Kenapa nyelametin aku?" Suara Rianti hari itu mengalun lagi.

Alvaro memejamkan matanya.

"Aku nggak tau kamu betulan malingnya apa bukan. Tapi, kamu seharusnya membiarkan apa yang terjadi, daripada jadi terlibat masalah kayak gini."

"Mana bisa," jawab Alvaro. Ia menoleh pada Rianti yang posisinya duduk di bangku panjang persis di depan kantor guru. Rianti ternyata masih menunggunya ketika sudah diperintahkan Pak Bambang untuk kembali ke kelas bersama Tina. Sedang Alvaro, ditahan untuk diinterogasi lebih lanjut.

"Aku udah biasa nerima semua jenis hinaan dari anak kelas. Ditambah satu julukan lagi sebagai 'tukang maling' sebetulnya nggak masalah."

Alvaro mengerutkan dahi. "Nggak masalah?" Ada nada ketus yang tertahan dalam suaranya. "Sampai kamu bilang mau mati kalo beneran dilaporin ke kepala sekolah? Itu yang dimaksud nggak masalah?!"

Rianti mengedikkan badannya. "Dan apa peduli kamu?"

"Entah kamu asal ngomong, tapi itu bukan kalimat yang menyenangkan."

"Bukan gitu." Rianti menjeda kalimatnya untuk sekadar menghela napas berat. "Cewek kayak aku, nggak punya teman dan selalu tertinggal, asyik banget dijadiin bulan-bulanan di kelas. Rasanya kayak nggak berharga."

"Berhenti ngucapin itu seolah kamu tau banget apa yang didapat saat mati." Alvaro memijat keningnya, tampak lelah. "Aku udah dapat hukuman dari Pak Bambang. Tapi gosip ini nggak akan berhenti, semoga kamu bisa urus sisanya." Ia menatap serius pada Rianti.

Rianti menunduk. Alvaro baru akan melangkah pergi sebelum dia tiba-tiba teringat sesuatu. Dia kembali menoleh. "Oh, hari itu, kamu tahu Zinnia ada di dalam toilet waktu kamu dengan sengaja ngunci pintu?"

Mata Rianti terbelalak.

Alvaro menatapnya tajam. "Dia pernah melakukan kesalahan ke kamu?"

Rianti menggeleng pelan. "Orang yang membully aku dan orang yang diam melihat aku dibully sama aja," ujarnya. 

"Bukankah kamu cuma iri?" tukas Alvaro, membuat Rianti menggigit bibirnya dengan gugup. Setetes air mata jatuh tanpa sadar jatuh ke pipinya.

"Iya! Iya aku iri!" teriaknya kesal. "Dia sama kayak aku, dikucilkan. Tapi dia bisa membela diri karena dia pintar dan kesayangan guru-guru." Rianti mengigat lagi kejadian-kejadian di kelasnya. "Dia punya power di kelas itu, tapi dia nggak pernah mencegah orang lain yang membully aku. Dia selalu mengadukan kecurangan anak kelas, tapi nggak pernah mengadukan pembullyan di kelas ke guru-guru."

"Gimana kalau dia nggak seberani itu?" kata Alvaro dingin. "Kamu nggak tahu hal apa yang udah dia lalui sampai dia bisa jadi pribadi yang kamu lihat sekarang."

Rianti diam.

"Kalau aku boleh kasih saran, kamu bisa coba jadi sedikit pemberani kayak Zinnia. Kamu harus bisa membela diri sendiri kalau tau nggak salah. Jangan terlalu cengeng."

Lihat selengkapnya