Stoples Cinta untuk Alvaro

anjel
Chapter #15

Sore Bersama Alvaro

Alvaro sebetulnya tidak ingin ke mana-mana. Dia hanya mengucap kata-kata random begitu tadi memergoki Zinnia menguntitnya. Maka, cowok itu hanya berjalan asal menyusuri trotoar. Kalau tidak salah, jalanan tersebut membawa pejalan kaki ke pusat perbelanjaan modern yang berbagi tempat dengan pasar tradisional. Satu-satunya mall di kota kecil tersebut.

"Multivitamin itu, kamu konsumsi buat apa?" Perhatian Alvaro kembali tertuju pada kresek putih yang buru-buru disembunyikan Zinnia ke belakang punggung. "Aku yakin kamu cukup pintar buat tahu kalau mengkonsumsi suplemen berlebih nggak baik buat kesehatan hati."

"Buat bantu daya tahan tubuh aja." Zinnia menjawab seadanya. Namun, ketika dilihatnya Alvaro menampilkan ekspresi tidak puas, ia memutuskan melanjutkan kalimatnya. "Aku belajar mati-matian, ditambah nanti harus ikut kelas tambahan buat persiapan olimpiade. Aku nggak mau sakit dan merusak rencana yang udah kususun."

"Belajar mati-matian?"

Zinnia memanyunkan bibir. "Kamu pasti denger dari Mada kalau Zinnia selalu juara satu paralel di Alibasyah. Mada itu pintar, lebih pintar dari aku mungkin, tapi jelas aku lebih rajin, dan aku nggak akan menyerahkan posisi satu ke dia sampai akhir."

"Oh, paham." Alvaro mengangguk-angguk. "Karena itu kamu nggak suka orang lain nyontek tugas kamu?"

"Aku selalu berusaha keras buat ulangan, sampai nahan diri nggak liburan dan jalan-jalan kayak anak-anak lain. Terus, kenapa pula harus berbagi jawaban sama mereka yang memilih bersenang-senang dibanding belajar?" Ia menoleh. "Kenapa? Kamu mau ikutan nyela jalan hidupku?"

"Menurut aku itu keren," kata Alvaro sembari mengacungkan jempol. "Kalau itu yang kamu mau, pastiin kamu berjuang sampai akhir."

Zinnia sebetulnya sudah menebak Alvaro tidak akan menghakiminya. Aksi cowook itu membela Rianti tempo hari membuat penilaiannya terhadap Alvaro si berandal sekolah sedikit bergeser. Di satu sisi, cowok itu terlihat cukup dewasa, itulah mengapa Zinnia memilih bercerita apa adanya. Hanya saja, dia tidak tahu rasanya akan menyenangkan. Ada perasaan hangat yang menjalar ke hatinya.

"Ngomong-ngomong, kamu kan yang jadi saksi kasus pencurian uang Tina?"

Alvaro pasti sudah mendengar penjelasan Pak Bambang.

"Karena kamu, uang aku jadi dibalikin."

"Aku nggak melakukan itu buat bela kamu." Zinnia berusaha meluruskan. "Aku yakin pelakunya Laura, jadi sekalian aja aku balas kelakuan dia sama aku di kelas kemarin. Biar dia tau berurusan sama siapa!"

"Kamu pendendam banget." Alvaro terkekeh.

"Udah aku bilang, mata dibalas mata!"

"Ada satu hal lagi," kata Alvaro kemudian. "Rianti yang ngunci pintu toilet hari itu."

Alvaro bisa melihat bola mata Zinnia membulat tak percaya. Bola mata cewek itu seolah bisa melahap Alvaro. "Kenapa kamu nggak kasih tau aku dari awal?!"

"Kalau aku kasih tahu kamu sejak awal, kamu masih akan mencoba bela Rianti?" tanya Alvaro.

Tak terasa keduanya sudah berjalan selama setengah jam, menyusuri jalanan berair yang sepi. Zinnia tak menunjukkan tanda-tanda untuk memprotes. Cewek itu berjalan dengan kedua tangan mendekap dada.

Zinnia sedang berpikir ulang. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan Alvaro. Ada rasa kecewa menelusup ke hatinya ketika mengetahui fakta tersebut. Dia tidak pernah menganggap Rianti sebagai salah satu gadis yang akan ikut membencinya. Toh, dia tidak pernah mengusik ketenangan Rianti selama ini. 

Saat keduanya sampai di pelataran bangunan mall yang menjulang, Alvaro menghentikan langkah. Tangan cowok itu kini menarik baju Zinnia yang rupanya sudah akan memasuki pintu mall.

"Kita nggak ke sana. Dingin."

"Terus?"

Lihat selengkapnya