Pagi berikutnya, angin berembus membawa bisik-bisik riuh dari ruang kelas paling pojok di lantai dua gedung utama Alibasyah. Seheboh-hebohnya anak Sebelas IPA 1, kejadian pagi itu menempati urutan pertama dalam daftar hal paling menghebohkan sepanjang dua tahun.
Zinnia yang datang pukul tujuh pagi tiba-tiba memutuskan duduk di samping Rianti, meninggalkan kursi kebesaran di depan papan tulis yang hampir genap satu tahun ditempatinya. Cewek itu, dengan mata membulat dan wajah datar, tidak berhenti memandangi Rianti. Targetnya tampak tak nyaman. Rianti seperti ingin mengungsi ke kursi lain, namun pantatnya tetap tertahan di kursi.
Sembari melakukan aksinya itu, telunjuk Zinnia tidak berhenti mengetuk-ngetuk meja. Di samping Rianti, Zinnia sedang berpikir keras. Apakah mengunci Rianti di toilet terlalu berlebihan? Apakah dia harus memukul kepala cewek ini?
Tentu saja, balas dendam ketiga yang dia rencanakan nyatanya berakhir dalam imajinasi saja. Zinnia tidak betul-betul melakukannya.
Pak Rahmat yang masuk lima belas menit kemudian bahkan sampai dua kali melepas kacamatanya, mengelap dengan tisu, lalu ketika mengenakannya kembali, pandangan lelaki tua itu langsung menyorot Zinnia dengan dahi berkerut. Pak Guru itu pernah jadi wali kelas IPA 1 tahun sebelumnya, sehingga merasa hapal dengan sifat muridnya. Memijat kening, ia kembali ke papan tulis dan meneruskan penjelasan materi hingga dua jam pelajaran berlalu.
"Jadi dapat disimpulkan meskipun sama-sama percampuran dua jenis zat atau lebih, pada kenyataannya larutan, suspensi, dan koloid ini adalah tiga sistem kimia yang berbeda. Tergantung pada ukuran partikel yang digunakan dalam masing-masing jenis zat. Sampai sini kalian paham?" Setelah mengetuk papan tulis beberapa kali, Pak Rahmat akhirnya duduk di kursi guru, memberi jeda pada anak didiknya untuk bernapas sejenak.
"Paham, Pak! Nada lemah anak kelas menyahuti.
Pak Rahmat menyapu seisi kelas dan tampak tak puas dengan ekspresi wajah anak IPA 1. "Paham di sini betulan paham atau sekadar anggukan saja? Silakan tanya jika ada yang meragukan. Sehabis ini, kalian akan melakukan praktikum kelompok sebelum UAS."
Anak-anak Sebelas IPA 1 saling lirik, beberapa kembali menyahuti dengan kata 'paham' dan mengangguk-angguk.
"Nah, tujuan dari praktikum berkelompok kalian nantinya adalah untuk mengenal koloid dan membedakan antara koloid, larutan, dan suspensi lewat efek Tyndall." Pak Rahmat kembali berjalan ke papan tulis, menggarisbawahi tulisannya dengan spidol, lalu berdehem. "Kalau betulan paham, tutup bukunya dan coba jelaskan lagi apa yang dimaksud efek Tyndall atau Tyndall effect ini!"
Mata Pak Rahmat kembali menyapu wajah muridnya yang sudah sibuk berpaling dan curi-curi waktu untuk membolak balik lembaran buku paket. Tak menemukan seseorang yang siap menjawab, lelaki tua itu meluruskan kacamata dan menyorot bangku di pojok belakang.
Senyumnya terbit singkat begitu melihat Zinnia yang duduk tegap dan tak menghindari tatapannya, mengindikasikan bahwa Zinnia siap dengan jawaban seperti biasa. "Zinnia, bisa jawab pertanyaan saya?"
Zinnia mengangguk tanpa ragu. "Efek Tyndall adalah fenomena yang terjadi ketika cahaya terpantulkan atau diteruskan melalui suatu medium yang mengandung partikel-partikel yang sangat kecil. Contohnya seperti debu, tetesan air, atau molekul-molekul gas." Zinnia menarik napas sebentar. "Pada efek Tyndall, cahaya akan diteruskan melalui medium tersebut dengan cara yang berbeda dari cahaya yang melewati medium yang tidak mengandung partikel-partikel tersebut. Contoh efek Tyndall dalam keseharian dapat dilihat pada cahaya terang lampu di ruang berdebu, atau sinar mahatari yang menyorot air keruh."
"Bagaimana mengetahui itu koloid atau bukan dengan efek Tyndall?"