Stoples Cinta untuk Alvaro

anjel
Chapter #18

Saudari Tiri

Matahari jum'at sore sebetulnya tidak begitu terik, namun pukul empat cahayanya masih menyusup lewat sela tirai vinyl laboratorium komputer di lantai satu Alibasyah. Zinnia dan Anggun sedang sama-sama tenggelam pada kegiatan masing-masing. Zinnia dengan pulpen yang mencoret-coret kertas, sementara wanita berkacamata persegi di kursi guru mengetuk-ngetuk ponsel dengan cepat.

"45 Fahrenheit, Mbak?" ujar Zinnia seraya mengangkat wajah.

Anggun meletakkan kembali ponselnya ke atas meja, tersenyum simpul dengan bangga. "Ternyata Pak Bambang tidak berlebihan memuji kamu sebagai siswa paling cerdas. Kalau begini Mbak yakin tiga besar udah pasti kepegang lah."

Menanggapi pujian itu, Zinnia hanya tersenyum. Pertemuan kedua persiapan olimpiade dihabiskan dengan mengerjakan soal yang didapat mbak Anggun dari olimpiade serupa lima tahun silam. Wanita itu kembali ke papan tulis dan menjelaskan mengenai penjabaran singkat materi yang terkandung di soal berikutnya, dan hal apa saja yang harus dilakukan Zinnia untuk mendapatkan jawaban dengan tepat dan cepat.

Dua jam tanpa sadar berlalu begitu saja dan keduanya sudah membereskan barang masing-masing. Zinnia senang dengan hasil persiapan hari ini sebab dia bisa mengerjakan semua soal, namun tak bisa lebih bersyukur lagi mendapati dirinya akhirnya bisa keluar ruangan tersebut karena dia sudah merasa begitu gerah.

Kegiatan keduanya terinterupsi ketika terdengar suara benda menghantam pintu laboratorium. Sejurus kemudian, sebuah bola voli menggelinding masuk ruangan. Dibelakangnya, seorang cowok yang masih berseragam sekolah mengejar masuk tanpa permisi. Tepat ketika bola itu berhenti di kaki Mbak Anggun, cowok yang sudah setengah jalan memasuki ruangan itu mengangkat wajah dan tercengir.

"Bolanya boleh saya ambil, Bu?" ujarnya dengan wajah tanpa dosa.

Tentu saja Mbak Anggun menggeleng tegas. "Tidak punya sopan santun, Alvaro?"

"Punya, Bu. Maaf," jawab si cowok dengan cepat sembari berbalik badan dan melangkah keluar ruangan. Tak lama, terdengar bunyi ketukan tiga kali di pintu, lalu wajah yang sama kembali muncul.

"Maaf, permisi, Bu Guru, boleh saya ambil bola yang tadi nyasar ke sini?"

Zinnia tak bohong ia mendengar Anggun mendengkus sambil nyengir masam. Telunjuknya menuding seragam Alvaro. "Rapikan dulu, nggak malu ya dilihatin cewek penampilan berantakan gitu?"

Alvaro yang ditunjuk langsung manut, cowok itu kembali menghilang dibalik pintu lalu muncul kembali sambil menyisir rambut dengan jari. "Udah ganteng, kan, Bu? Sekarang boleh saya ambil bolanya?"

Tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut, Alvaro berlari meraih bola. Ia sekilas melirik pada Zinnia yang pura-pura sibuk merapikan isi tas yang sebetulnya tak pernah berantakan. Cewek itu hanya sedang mencuri dengar saja.

Namun, ada yang lebih mengagetkan dibanding kenyataan Anggun yang bukan guru tetap Alibasyah ternyata mengenal Alvaro, yaitu kalimat Anggun berikutnya ketika Alvaro yang sudah berhasil mendapatkan bola berjalan keluar ruangan.

"Al, kita bicara sebentar, ya?"

Dan demi jiwa keponya yang jarang muncul, Zinnia rasanya ingin mematung saja di kursinya. Sayangnya, Anggun secara tersirat memberi isyarat bahwa dia sedang menunggu Zinnia keluar ruangan untuk melanjutkan apapun itu yang ingin dia bicarakan dengan Alvaro.

Maka, dengan terpaksa, Zinnia akhirnya berpamitan. Tidak langsung pulang, namun ia pergi ke kamar mandi, menimbang-nimbang apakah sopan untuk menguping demi ketengangan harinya?

***

"Gimana sekolah barunya?"

"Nggak ada yang spesial, kayak biasa aja," jawab Al.

"Oh ya?" Nada suara Anggun terdengar sanksi. "Tapi kelihatan kamu lebih bahagia." Ia memutar-mutar telunjuk di depan wajah Alvaro. "Dan makin banyak tercengir."

"Wajah aku emang udah disetting kayak gini sejak lahir," ujar Alvaro membela diri.

"Halah, waktu pertama kita ketemu dulu wajah kamu kayak baju yang belum disetrika."

Alvaro kembali tercengir. "Muka siapa itu? Aku nggak ingat pernah kayak gitu."

Anggun tertawa seraya memukul Alvaro. "Kamu tinggal di mana sih, Al?"

"Kenapa gitu pengen tahu?"

"Ya mau main, lah."

Al tidak berpikir lagi untuk menggeleng. "Cewek nggak boleh main ke kos-kosan cowok, Mbak."

"Kalau saudara boleh, dong?"

"Kan cuma saudara tiri," balas Alvaro. Lelaki itu sejurus melihat wajah Anggun langsung tertekuk, maka ia cepat-cepat menambahkan. "Mbak pulang aja, rumah harusnya udah jadi lebih damai tanpa aku."

Lihat selengkapnya