Stoples Cinta untuk Alvaro

anjel
Chapter #19

Alvaro dan Keluarga yang Rumit

Aku suka hujan. Tapi akan benci jika turun dari matamu. Jika bisa, aku ingin membereskan awan mendung itu sesegera mungkin, sehingga langit wajahmu kembali cerah.

Kamu tidak perlu terus tertawa. Cukup menjadi cerah saja. Dengan begitu kamu jadi jelas.

***

Satu minggu menuju tanggal pelaksanaan olimpiade memaksa Zinnia meluangkan lebih banyak waktu untuk mencapai persiapan maksimal. Mbak Anggun pun ikut keteteran membagi waktu kuliah dan mengajar. Karena beberapa kali absen mengajar di lab komputer, wanita itu akhirnya berulang kali meminta maaf kepada Zinnia karena terpaksa memindahkan kegiatan belajar mereka ke malam hari di rumah Anggun.

Zinnia semula tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya karena belajar di rumah Anggun artinya mengunjungi rumah Alvaro. Cewek itu dibuat melongo melihat rumah megah dua tingkat yang berdiri di tengah salah satu perumahan elit kota. Namun, nyatanya dia tidak menemukan Alvaro di rumah, dan Zinnia terlalu malu untuk bertanya pada Anggun. Dia akhirnya memilih fokus sepenuhnya pada rentetan soal fisika yang disodorkan Anggun.

"Jagungnya sambil dimakan, ya, Zin."

Zinnia mengangguk sekilas, ia masih fokus pada kertas soal di hadapannya yang penuh coretan. Berapa ketinggian maksimum yang dicapai bola? Dia  membatin sambil menekan ujung pena pada kertas soal. Ia yakin soal ini berhubungan dengan energi potensial gravitasi yang rumusnya sudah dia hapal dengan baik. Oh! Membatin sekali lagi, Zinnia kembali percaya diri mencoret-coret di kertas hingga menemukan jawaban yang ia yakin tepat.

"Ketinggian maksimum yang bisa dicapai bola adalah lima koma sepuluh meter." Zinnia mengangkat kepalanya, menatap pada Mbak Anggun.

Mbak Anggun membalik buku untuk melihat kunci jawaban. "Deng, benar!" ujarnya. "Nah, beberapa soal jawabannya memang perlu diurai dengan rumus, tapi beberapa soal cukup dijawab dengan nalar. Coba kamu lihat point B."

Zinnia kembali melirik kertas soal. Ia membaca tulisan yang tertera. "Energi kinetik bola saat mencapai ketinggian maksimum?"

"Kalau sudah mencapai ketinggian maksimum, bola berarti berhenti bergerak sebelum jatuh ke bawah. Artinya kecepatannya menjadi nol, sehingga ...?" Mbak Anggun kembali menatap Zinnia yang mengangguk paham dengan cepat.

"Sehingga berarti energi kinetiknya adalah nol."

"Tepat!" Anggun menjentikkan jari. "Jadi pastikan kamu nggak membuang waktu untuk mencari jawaban dari soal-soal yang mengandalkan penalaran. Oke?"

Zinnia mencatat itu di bukunya sebagai reminder. Sesuatu yang dapat dinalar. Tapi bukannya untuk mencapai penalaran itu butuh proses pencarian dan penguraian rumus-rumus yang panjang? Dia tiba-tiba teringat Alvaro. Sayang sekali cowok itu bukan soal fisika yang berhubungan dengan energi kinetik benda yang dilempar ketika mencapai ketinggian maksimum. Ia tidak mampu menalarkan bagaimana atau mengapa cowok itu bisa menerbitkan matahari palsu di langitnya yang mendung?

"Zinnia, udah jam sepuluh!" Anggun tiba-tiba terkaget sendiri saat membuka layar ponselnya. "Aduh, gimana kamu pulangnya? Saya pesankan ojek aja, ya?"

Zinnia ikutan melirik pada ponselnya. Mereka rupanya sama-sama lupa waktu.

"Kamu beresin aja bukunya. Biar saya pesankan ojek. Rumah kamu masih di daerah Sukarami, kan?"

Zinnia mengangguk. "Daerah belakang polsek."

Anggun kemudian berdiri sementara Zinnia mulai mengumpulkan alat tulis dan buku yang berserakan. Sembari menunggu, Zinnia meminta izin untuk menggunakan toilet. Rumah itu terlalu luas sehingga Anggun harus mengantarkan Zinnia supaya tidak tersesat.

"Dirumah saya ya begini, luas tapi sepi," kata Anggun seraya menghidupkan lampu toilet. "Ayah dan Ibu semua workaholic, mbak ART juga pulang setiap hari, kebetulan rumahnya dekat."

"Kalau Alvaro?" Zinnia menemukan cela untuk memancing percakapan pribadi. Sejurus dia menyesal bertanya ketika dilihatnya wajah Mbak Anggun tampak terkejut.

"Kamu ... tahu kami saudara?" Selidik Mbak Anggun.

Zinnia mau tak mau mengangguk.

"Dia yang cerita?"

Lihat selengkapnya