Stoples Cinta untuk Alvaro

anjel
Chapter #21

Semua sedang Berjuang

"Silakan kumpul tugas kelompoknya, dan kita akan mulai presentasi."

Zinnia mengetuk-ngetukkan jari ke atas meja. Dia melirik pada kursi di sebelahnya. Rianti belum tiba sementara Pak Rahmat sudah mulai memanggil satu persatu kelompok untuk mempresentasikan hasil praktikum mandiri mereka.

Zinnia mengembus napas lega begitu terdengar ketukan di pintu kelas dan Rianti masuk dengan canggung. Rianti meminta maaf pada Pak Rahmat karena telat.

"Laporannya buruan dikumpul," tegur Zinnia.

Rianti mengangguk. Dia mengeluarkan makalah dari tas lalu mengumpulkannya ke meja guru. Rianti juga memberikan satu salinan fotocopy untuk Zinnia. Zinnia tersenyum seraya membolak-balik hasil kerja Rianti. Typo dimana-mana, penjelasan yang bertele-tele, serta format yang tidak rapi. Zinnia kembali mengetuk-ngetuk meja dengan pulpennya. Tangannya gatal untuk menulis ulang laporan itu, namun dia akhirnya menelan ludah sambil tersenyum.

"Nanti kamu yang presentasi, ya? Aku bantu jawab pertanyaan di sesi diskusi."

"Eh?" Rianti tampak ragu. "Aku takut," ucapnya jujur.

"Enggak apa-apa, jelasin kayak waktu kita praktik kemarin."

"Tapi, nanti kalau aku gagal dan nilai presentasi kita jelek, gimana?"

Zinnia menelan ludah. "Enggak apa-apa, kok." ujarnya. Nilai laporan kita juga sudah pasti jelek, lanjutnya dalam hati.

"Selanjutnya, kelompok enam silakan presentasi." Ucap Pak Bambang dari kursi guru. Zinnia dan Rianti berdiri meninggalkan meja.


***


Angin, debu, dan jalanan yang sepi adalah kombinasi hal yang dibenci Zinnia di hari minggu. Ia tidak menduga rumah Rianti betul-betul berada terlalu jauh dari pusat kota. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana Rianti berangkat sekolah setiap hari. Seolah belum selesai, mata Zinnia makin terbelalak ketika berdiri di hadapan gubuk kayu yang disebut rumah oleh Rianti. 

Gubuk itu betul-betul terbuat dari kayu bercampur anyaman bambu. Rumah Zinnia dengan atap bocornya bahkan jauh lebih layak jika dibandingkan gubuk ini. Lantainya tanah yang dilapisi terpal tipis berlapis-lapis dan sobek sana-sini. Hanya ada ruang tamu, satu ruang dengan pintu tertutup yang Zinnia pikir pasti kamar tidur, serta dapur tempat Rianti dan seorang nenek sedang menuangkan air ke dalam teko.

Zinnia duduk bersila di dekat pintu masuk sambil mengotak-atik ponselnya. Dari sana, ia bisa mencium bau kotoran ayam yang cukup menyengat. Zinnia sadar darimana bau yang dipermasalahkan anak-anak kelas itu berasal. Tidak lama kemudian, Nenek Rianti menurunkan sepiring talas goreng dan kresek berisi buah rambutan. Rianti mengekor di belakangnya, menurunkan teko dan cangkir.

"Nenek senang teman Rianti akhirnya main ke sini. Nenek pikir di sekolah dia nggak punya temen."

Zinnia tersenyum canggung.

"Ayo, nduk, dimakan dulu talasnya." Nenek Rianti mengulurkan piring ke hadapan Zinnia, memaksa agar ia mencomot satu. "Rianti dari kecil tinggal sama nenek di sini, dari kecil ditinggal sama Mamaknya buat nikah lagi, Bapaknya pun sama aja, enggak benar."

"Nenek mulai lagi, kan." Rianti menepuk paha neneknya dengan pelan. Ia kemudian menatap Zinnia tidak enak hati. "Maaf, Zin, nenek emang suka ngomong ngelantur gitu."

"Nggak apa, kok." Zinnia kembali mencomot talas goreng dari piring.

"Ya biar temanmu tau toh, nduk. Rianti ini anaknya apik tenan. Nggak neko-neko, berbakti sama Nenek. Pasti temannya banyak, toh? Ini buktinya, temennya ayu, sopan lagi. Kamu jangan malu temenan sama Rianti, ya? Walaupun Neneknya ndak berduit, InsyaAllah anaknya baik hati."

"Iya, Nek." Satu-satunya jawaban paling baik yang terpikir oleh Zinnia saat ini.

"Pasti bau kotoran ayam, kan?" celetuk Rianti begitu neneknya pamit ke dapur. "Kita ngerjain tugas di sungai aja, yuk?"

Zinnia langsung menyetujui ide itu tanpa basa-basi. Hidungnya benar-benar sudah tidak dapat menoleransi bau menyengat itu. Entah bagaimana tadi dia bisa menelan dua potong talas goreng.

Yang dimaksud sungai oleh Rianti betul-betul sebuah aliran sungai yang cantik, letaknya agak jauh dibelakang rumanya. Kedua remaja itu duduk di atas batu besar, membuka buku sambil menikmati gemerecik air. Zinnia belum pernah mengunjungi sungai seumur hidupnya, dia menyesal tidak bawa baju ganti untuk mandi.

Rianti menarik ranselnya, mengeluarkan bahan-bahan praktikum mereka. Bubuk gula, susu, kopi, tabung reaksi yang dipinjam dari laboratorium, hingga senter besar. Sementara Zinnia membeberkan lembar kerja mereka dan mulai mencentang alat dan bahan yang ada, memastikan agar mereka tidak kelupaan satu apapun.

"Jadi kalian pelihara ayam sebanyak apa?" tanya Zinnia, niatnya basa-basi busuk saja agar suasana tidak begitu canggung.

"Enggak banyak, tapi cukup buat dijual ke pekan tiap minggu." jawab Rianti. "Aku cuma tinggal berdua sama nenek, jadi biaya hidupnya nggak banyak banget."

"Ibu sama Ayah kamu beneran nggak tinggal di sini lagi?"

Lihat selengkapnya