Manusia adalah sebaik-baiknya pemeran drama, mampu memasang topeng senyum berhari-hari untuk menutup luka.
***
Di atas ranjangnya, bergelung selimut wol untuk menghalang hawa dingin selepas hujan, Zinnia yang masih terjaga membalikkan badannya. Matanya yang sembab menatap pada stoples bintang di atas nakas.
Alvaro ... kenapa? Bukankah senyum itu terlalu palsu?!
Zinnia tak bisa tidur, seolah jiwanya masih berada di rumah sakit, beberapa jam lalu. Saat dia dengan napas tersengal mengucurkan air pada lengan bajunya yang terkena cairan merah. Pada cermin lebar, dia kemudian mendongak, namun yang dilihatnya bukan wajahnya, melainkan sekelebat wajah pucat Alvaro yang meringis menahan sakit sementara darah terus mengalir dari pergelangan tangannya. Alvaro yang berkata jangan peduli dengan suara bergetar, namun menjatuhkan kepalnya ke bahu Zinnia seolah meminta tolong.
Ia menghabiskan setengah jam di kamar mandi rumah sakit. Begitu keluar, ia melihat ada banyak orang dewasa berpakaian necis berdiri di depan ruangan. Perawat perempuan yang tadi membantunya sejak turun dari ambulans berjalan menghampiri. Di belakangnya, seorang lelaki berkumis tipis dengan pakaian olahraga mengikuti.
"Pak Bambang?"
Pak guru itu menghela napas. "Terima kasih sudah mengabari saya."
Zinnia mengangguk lagi. Rasanya sulit untuk bersuara ketika kepalanya masih dipenuhi bayangan kejadian tadi siang.
"Kamu sudah mau pulang?"
Zinnia menggeleng.
"Kalau begitu, tidak keberatan bicara dengan saya sebentar? Mungkin di kantin?"