Hodie hitam dan kupluk, sepeda, serta earphone yang terlah terkoneksi ke ponsel. Alvaro telah memiliki semua yang dia butuhkan di minggu pagi ini. Dari teras kos, dia mengayuh sepeda putihnya menuju Taman Puspa di kompleks sebelah. Minggu kedua libur sekolah, kegiatannya tidak jauh dari bekerja dan bersepeda. Kepala remaja itu terasa sangat penuh, sehingga ia merasa selalu butuh kegiatan untuk mengalihkan pikiran. Meskipun, harus diakui, semua usahnya tidak berhasil. Percakapan tidak menyenangkan dengan Bu Dewi di ruang guru tempo hari tanpa aba-aba mencuat dari ingatannya.
"Nilai kamu tidak cukup untuk memenuhi standar kenaikan kelas. Pak Bambang meminta pada saya meloloskan kamu sekali ini. Jujur saja Al, saya bukan tipe orang yang mau bermain di belakang. Ada orang lain yang berjuang keras untuk jadi yang terbaik. Zinnia, misalnya. Kamu akan merusak nilai perjuangan itu."
"Sejujurnya saya sendiri tidak masalah harus tinggal kelas. Itu konsekuensi saya." Alvaro menjawab tanpa ragu, membuat Bu Dewi mengangkat kepala dengan ekspresi campur aduk.
"Kamu yakin?"
Alvaro mengangguk. "Aneh juga kan, Bu? Saya sering bolos, nggak ikut ujian, tapi tiba-tiba naik kelas?"
"Saya takut kamu kehilangan motivasi jika tinggal kelas." Bu Dewi mendesah panjang. "Al, kami para guru terkadang harus berperang dengan ego kami untuk yang terbaik buat kalian. Kami tidak ingin anak-anak kami gagal di sini. Kami tidak ingin apa yang kami lakukan membentuk karakter buruk di diri kalian. Satu angkatan kalian, cuma kamu yang nggak naik kelas, lho. Jadi, sekali lagi Ibu tanya, kamu yakin?"
Alvaro mengigit bibirnya sejenak. Dia cukup yakin dengan keputusannya. "Ibu benar soal orang lain yang berjuang keras untuk menjadi yang terbaik, dan saya akan merasa malu kalau mengandalkan orang dalam. Tahun depan, saya janji akan berusaha lebih baik."
Bu Dewi bersandar ke kursinya, menatapnya dengan pandangan lembut yang tidak biasa. "Kalau ini keinginan kamu, Ibu sangat mengapresiasi. Akan Ibu sampaikan pada Pak Bambang. Pastikan kamu tidak bolos-bolosan lagi semester depan."
Percakapan itu berakhir di situ, tapi perasaan yang ditinggalkan masih membekas. Alvaro keluar dari ruangan setelah menerima rapor miliknya yang dibagikan secara khusus di ruang guru sebelum Bu Dewi kembali ke kelas. Tepat ketika dia melangkah ke koridor, ia melihat punggung Zinnia hanya berjarak tiga meter.
Entah bagaimana cewek itu tahu, seolah bertelepati, Zinnia berhenti dan menoleh ke belakang. Manik mata keduanya bertemu.
Si pertama dan terakhir. Alvaro tak menyangka Zinnia benar-benar tumbuh dengan baik dan menjadi seseorang yang membanggakan. Dia merasa ciut di hadapan Zinnia. Zinnia seperti cermin yang memantulkan kegagalannya. Pose mereka sama, seragam mereka serasi, namun isi dari buku yang dipegang itu benar-benar bertolak belakang. Dia ingin berusaha menjadi sebaik Zinnia, menyingkirkan apa yang menghantuinya selama ini. Tapi, Alvaro telah mengacau terlalu banyak sehingga ia bahkan malu untuk kembali berteman dengan Zinnia.
Dia merasa kalah telak.
Tiba-tiba, ranting pohon yang melambai-lambai di pinggir jalan mengagetkannya. Lebih lanjut, beberapa ranting jatuh menghantam kepala Alvaro. Sepedanya oleng ke kanan, nyaris jatuh ke dalam parit. Untung saja dia cepat-cepat mengendalikan stang, menyelamatkan diri dari kecelakaan kecil. Lelaki itu mendongak kepada pelaku yang hampir mencelakainya. Sebuah pohon kersen di pinggir jalan setapak Taman Puspa masih bergoyang-goyang hebat padahal angin tidak berembus kencang.
Jadi, pelakunya bukan angin atau pohon, melainkan ada seseorang sedang duduk di salah satu dahan, berusaha menggoyang-goyangkan dahan lain untuk menjatuhkan buah. Alvaro memutar sepedanya, mendekat kembali ke pohon kersen dan kaget begitu dia mengetahui siapa pelaku tersebut. Gerakan di pohon juga berhenti mendadak, mengindikasikan si pelaku juga kaget menemukan dirinya di sana.
"Ngapain?" Di antara banyak kata, malah kata itu yang keluar dari mulut Alvaro. Wajar nilai Bahasa Indonesia-nya tidak lewat KKM.
"Cosplay jadi pohon." Di sisi lain, Zinnia merasa nilai Bahasa Indonesianya terlalu tinggi untuk dirinya yang bahkan tidak bisa merangkai kata dengan benar di situasi genting seperti ini.
Cewek itu mungkin merasa sangat malu dipergoki sedang memanjat pohon kersen, sehingga Alvaro hanya mengangguk. Alvaro mencoba menahan tawa yang mulai menyeruak. "Kalau udah berbuah, kabarin, ya."
"Ya. Oke."
Ponsel Zinnia bergetar. Dia buru-buru meraihnya. Pesan singkat dari Dania.
'Sorry, disuruh mams bersihin toilet, nggak jadi ngambil kresek. Buah serisnya dimasukin kantong celana aja!'
"Alvaro!" Zinnia buru-buru teriak sebelum Alvaro dan sepedanya benar-benar menjauh.
Alvaro menghentikan sepedanya, berbalik.