Stoples Cinta untuk Alvaro

anjel
Chapter #28

Siswa Kelas Dua Belas

Hari pertama anak-anak kelas dua belas dilalui dengan seminar motivasi. Kepala sekolah membeberkan data peruguran tinggi, kedinasan, serta memamerkan statistik persebaran lulusan SMA Alibasyah di penjuru negeri. Zinnia sendiri belum menentukan pilihan. Namun, Zinnia bersemangat untuk melihat peluang apa yang dia punya. Kepala sekolah juga menyarankan anak-anak kelas dua belas mulai melakukan bimbingan dengan para guru jika diperlukan.

Sementara itu, berita Alvaro yang tinggal kelas menjadi gosip hangat di sekolah. Namun, Alvaro tampaknya tak terlalu peduli. Begitu kesimpulan Zinnia setelah melihat Alvaro sibuk bermain voli di lapangan bersama teman-teman barunya saat matahari baru saja naik. Cowok itu bahkan terlihat bersemangat ketika diajak nongkrong ke perpustakaan saat istirahat siang.

Justru, yang membuat Zinnia terkejut adalah ketika Alvaro muncul bersama Mada--yang jelas kehadirannya tidak dia inginkan. Jujur saja, Zinnia masih kesal melihat Mada yang terus tersenyum sejak pengumuman kenaikan kelas tempo hari. Meski begitu, ia sadar tak bisa menunjukkan kekesalan hanya karena perasaan pribadi.

"Jadi, kamu mau masuk UI?" Alvaro meletakkan tumpukan buku paket ke atas meja. Buku-buku itu baru saja ia pinjam untuk satu semester ke depan, dan Zinnia membantu memilihkannya. Kini, mata Alvaro tertuju pada layar komputer Zinnia.

"Masih lihat-lihat jurusan sama silabus aja, aku belum mutusin," jawab Zinnia santai.

"Kamu harus cepat putusin, kita nggak punya banyak waktu lagi buat belajar. " Tiba-tiba Mada yang duduk di seberang dan sibuk bermain ponsel ikut angkat bicara.

"Kalau kamu sendiri, emang udah tau mau ke mana?" tanya Alvaro sambil melirik Mada.

"Kalau aku sih mau kedinasan aja, yang pasti-pasti abis lulus langsung kerja."

Zinnia mengangguk pelan. Kedinasan juga ada di pikirannya. Namun, terlalu banyak pilihan jurusan kuliah dan instansi menarik membuatnya bingung menentukan prioritas.

"Yang jelas prioritas aku sekarang belajar buat persiapan tes masuk kedinasan, kalau nilai sekolah sih udah enggak sepenting itu lagi. Kan aku juga udah ngalahin Zinnia semester lalu. I've already achieved my ambition," lanjut Mada.

Zinnia hanya tersenyum tipis. Mada terlalu terang-terangan, tapi dia menghargai kejujurannya. "Siap-siap aja semester ini," balas Zinnia penuh keyakinan. "Buat aku, kompetisi masih berlangsung. Targetku sih tetap jadi juara umum dan lulusan terbaik.

"Oke, kalian berdua keren banget," Alvaro mencoba mengakhiri perdebatan dengan tepukan pelan. "Ya ampun, kalian bahkan udah mikirin universitas, sementara aku masih harus mikirin ulangan kenaikan kelas."

"Ya siapa suruh tinggal kelas, Bro!" Mada cekikikan. "Tapi tenang, kapanpun kamu butuh bantuan belajar, datang aja ke kelasku."

Zinnia mengangguk setuju. "Pokoknya buku paket itu harus kamu baca tuntas. Jangan lupa juga jadwal belajar kita tiap Senin dan Rabu di perpustakaan. Nanti aku ajak Rianti sama Diana juga biar makin rame."

Hari itu Zinnia yakin telah melihat Alvaro tersenyum secara tulus, meskipun masih sulit baginya untuk menghilangkan trauma hari berdarah Alvaro. Namun, sebagai teman, Zinnia merasa dirinya memiliki misi pribadi. Ia ingin memastikan senyum Alvaro bertahan selama mungkin. Seperti cahaya lilin yang harus dia jaga agar tidak padam. Tanpa sadar Zinnia mulai menyibukkan Alvaro dengan berbagai cara, memastikan bahwa tidak ada ruang kosong bagi kesunyian untuk mengambil alih pikiran Alvaro.

Bahkan setelah kegiatan sekolah selesai, Zinnia selalu menemukan alasan untuk tetap terhubung dengannya. Entah itu membahas soal pelajaran, mengirimkan meme lucu, atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan aneh di aplikasi chatting.

"Berikan 5 alasan mengapa pelajaran Fisika penting untuk kehidupan?" Zinnia menekan tombol send pada aplikasi chatting-nya di sela latihan teater.

Zinnia menyukai respons spontan Alvaro yang biasanya bingung tapi tetap mencoba menjawab, bahkan ketika jawabannya sering kali melenceng jauh dari fakta. Hal-hal kecil itu membuatnya merasa lega, setidaknya ia tahu Alvaro mulai kembali menikmati hidup, satu langkah kecil demi langkah kecil.

'Jawab, Al, cepat!'

Zinnia kembali mengirim pesan sebelum mengantongi ponselnya dan mengalihkan pandangannya ke cermin besar di ruang teater. Ia mengibas-ngibaskan naskah drama yang diberikan Diana tempo hari, mencoba menenangkan diri. Zinnia sedikit sebal menatap pantulan dirinya. Menghapal dialog sebetulnya cukup mudah. Masalahnya, dia sudah lama sekali tidak ikut latihan teater sehingga mimik wajah hingga intonasi pengucapan dialognya sekarang berantakan.

Meskipun Diana berulang kali menyemangati dan memuji, namun Zinnia masih merasa kurang puas. Drama dadakan ini akan ditampilkan empat hari lagi dan jelas akan disaksikan Alvaro, Zinnia tidak ingin terlihat memalukan.

"Lima belas menit lagi kita mulai latihan, ya!" Suara Kak Riska, pelatih teater Alibasyah terdengar dari pintu yang sedikit terbuka.

Anak-anak di dalam ruangan terdengar mengeluh.

"Satu jam lagi dong kak, belum hapal naskah, nih!"

"Harus pakai atribut nggak, Kak?"

Wajah Kak Riska menyembul dari pintu. "Kakak harap semua sudah hapal dialog masing-masing, tapi kalau belum nanti boleh bawa naskah. Atributnya sekalian dipakai biar kalian bisa menjiwai peran. Kalau sudah siap semua pindah ke halaman, ya."

Zinnia menghela napas panjang, mengulang dialognya sekali lagi sebelum beranjak ke lemari kostum lima belas menit kemudian. Di ruang teater yang kini mulai lengang, hanya tersisa dia dan Airin.

Saat pandangan mereka bertemu, Zinnia mencoba tersenyum, namun cewek berhijab itu langsung mengalihkan pandanannya ke ponsel, pura-pura sibuk.

"Geseran bentar, Rin. Aku mau ambil gaun," ujar Zinnia, mencoba menjaga nada suaranya tetap ramah.

Lihat selengkapnya