Stoples Cinta untuk Alvaro

anjel
Chapter #30

Orang-Orang Dewasa

"Nama saya Alvaro, dan saya bukan putra kandung Jonathan Pambudi, calon bupati yang kalian tuduhkan. Memang betul bahwa saya tinggal di rumah Pak Pam, tapi saya tidak punya hubungan darah dengannya. Ibu saya meninggal saat saya kecil, dan Pak Pam, sebagai pemilik rumah tempat Ibu bekerja, berbaik hati mengadopsi saya."

"Bagaimana kami tahu kamu mengatakan fakta? Ada bukti dokumen resmi, seperti akta kelahiran? Kami mendapat informasi dari seorang sumber terpercaya bahwa kamu--maaf--adalah anak hasil hubungan gelap Jonathan Pambudi. Bagaimana kamu menjelaskan ini? Apa wanita dengan gaun pengantin ini ibumu?"

"Bukan."

"Tolong jangan menyangkal. Jejak digital tidak pernah berbohong. Kami para wartawan ini akan berdiri membela kamu dan menghindarkan rakyat mendapat pimpinan yang tidak baik secara moral."

"Saya tidak menyangkal. Saya tidak paham bagaimana kalian para wartawan menyebar rumor tidak berdasar dan menyeret saya hanya karena foto pernikahan yang bahkan tidak memepelihatkan wajah lelaki secara jelas. Apakah itu Pak Pam? Saya bahkan tidak yakin."

"Informan kami adalah orang terpercaya. Fakta bahwa wanita ini meninggal bunuh diri setelah ditelantarkan suami, akan membangkitkan sentimen publik terhadap calon pemimpin daerah."

"Saya bisa menunjukkan foto pernikahan orangtua saya serta akta kelahiran saya supaya kalian puas."

***

Hujan deras diluar, gelap di dalam.

Masih dengan posisi menunduk, Alvaro mencoba memperbaiki duduknya dengan hati-hati, seolah takut satu gerakan kecil saja bisa menambah ruwet suasana. Kendati demikian, ia tak bisa menahan pundaknya yang bergetar, entah karena dinginnya ruangan atau sesuatu yang lain.

Di seberang meja, Bu Almira menyandarkan tubuhnya lelah. Ada senyum samar di bibirnya, bukan kebahagiaan, melainkan kepahitan yang telah lama ia telan. "Sejak dahulu, dan bahkan sampai sekarang, tidak pernah ada yang memikirkan perasaanku." Suaranya pelan, tapi menusuk. "Bahkan anak kandungku sendiri, sesama perempuan sepertiku, masih mencoba membela anak haram ini!"

Anggun tersentak, tapi cepat-cepat menahan diri. Dengan suara bergetar, ia mencoba membela, "Mama ... mama cukup dewasa untuk tahu kalau kelahiran itu bukan salah Alvaro, kan?"

Bu Almira mendengkus pelan, sorot matanya penuh luka. "Bukan salah dia, dia memang seharusnya dia tidak pernah dilahirkan. Apa dosaku sehingga harus melihat wajah itu setiap hari? Aku benci melihat matamu yang mirip dengan perempuan itu!" Dia melirik sengit pada Alvaro. Jelas terpatri kebencian dan muak yang membuncah dalam nada bicaranya. "Tidak pernah ada yang bertanya tentang perasannku hanya karena aku orang dewasa sementara dia anak kecil."

Alvaro mengangkat wajah, menatapnya dengan mata kosong. Ia tak pernah meminta dilahirkan, tak pernah meminta menjadi penyebab dari luka ALmira. Tapi tidak ada gunanya bicara. Di seberang meja, lelaki berkacamata tebal yang sedari tadi duduk diam akhirnya berdeham. Ia mengangkat wajahnya, ekspresinya tetap dingin.

"Cukup." Hanya satu kata, tapi dengan nada yang menegaskan kekuasaan. "Saya sampai pada kesimpulan untuk solusi masalah ini." Matanya menatap lurus ke arah Alvaro. "Saya harap kamu tidak membangkang. Biarkan orang dewasa yang menyelesaikanya."

Alvaro tetap bergeming. Sementara itu, Anggun melirik ke arah ibunya, yang masih duduk dengan wajah letih. Almira menghela napas berat, lelah, seolah tak ingin berdebat lagi. Raut wajahnya getir, tapi juga penuh kehampaan. Anggun tahu betapa ibunya telah melewati banyak hal. Tentu, Anggun punya banyak kalimat untuk membela Alvaro, adik yang dia sayangi. Namun, melihat kondisi ibunya membuat gadis itu akhirnya menelan kembali seluruh kalimat di tenggorokannya.

Mungkin, seorang wanita memang selalu diharapkan untuk kuat tanpa pernah diberi ruang untuk mengeluh. Ragu-ragu, Anggun mengulurkan tangannya, mengelus punggung tangan Almira yang terkulai di pangkuan. Dinginnya jari-jari ibunya membuatnya semakin sadar—ibunya juga sedang berjuang.

Lihat selengkapnya