Stoples Cinta untuk Alvaro

anjel
Chapter #32

Kisah Tentang Mereka yang Memilih Jalan Pintas

Zinnia menyukai dunia berawan biru. Namun, baru anak perempuan itu akan membentangkan tikar piknik bersama ibu dan Dania, tiba-tiba awan kegelapan merayapi langit. Zinnia melirik ke sampingnya, Ibu dan Dania tiba-tiba tidak terlihat dimanapun. Zinnia bangkit, memanggil-manggil kedua keluarganya.

Tak ada yang menyahut, dari langit hitam tiba-tiba muncul sosok tinggi, merah menyala, bentuknya menyerupai cabai setan dengan ekor panjang meliuk-liuk dan kaki pendek. Kepala cabai raksanan itu menoleh ke arahnya, seringai sinis terpatri. Zinnia kecil tersentak, lalu berbalik dan berlari secepat mungkin. Kakinya menjejak tanah lunak yang terasa seperti bubur panas. Semakin ia berlari, semakin dekat suara decakan ekor cabai itu menghantam tanah. Nafasnya memburu, dadanya terasa sesak.

Suara gelas jatuh terdengar nyaring.

Zinnia membuka mata perlahan. Cahaya terang sontak tertangkap retinanya. Napasnya masih berat, jantungnya berpacu. Butuh beberapa detik sebelum ia menyadari di mana dirinya berada. Bukan di dalam kejaran cabai raksasa, tapi tertidur di bangsal rumah sakit dengan dinding warna merah muda cerah. Hari kedua setelah dia terbangun di ICU, infusnya sudah dilepas semalam, namun dia masih butuh rawat inap setidaknya hingga dua hari Ada banyak ranjang di ruangan itu, Zinnia dapat melihat karena tirainya disingkap penuh. Tidak terlihat Ibu ataupun Dania.

"Berapa kali kami bilang tidak boleh berlarian di sini! Cepat keluar! Biar kakak tunjukkan hasil

perbuatan kamu!"

Itu suara salah satu perawat lelaki yang berdiri di depan pintu kamar mandi. Zinnia tidak tahu apa yang terjadi, namun pintu kamar mandi yang tertutup tiba-tiba terbuka, menampilkan sosok bocah lelaki seusia dirinya berjalan dengan raut bersalah.

"Anak nakal, ayo ke sini." Perawat lelaki menyambut bocah itu, membimbingnya keluar ruangan. "Awas hati-hati," katanya saat mereka melintasi pecahan gelas yang berserakan di lantai dekat pintu.

Seorang perawat lainnya menyusul dengan membawa sapu di tangannya. Setelah merasa lebih baik, Zinnia berusaha keras untuk bangkit. Tenaganya masih lemah, namun tidak selemah kemarin. Dia bisa dengan mudah turun dan berjalan keluar.

Bocah lelaki yang tadi dilihatnya tampak menunduk dimarahi oleh perawat lelaki.

"Lihat itu kakaknya jadi repot bersihin lantai gara-gara kamu. Kenapa sih, kamu nakal sekali?"

"Maaf." Bocah lelaki itu hanya bisa tercicit.

"Mana ibumu? kakak aduin yaa." Perawat lelaki itu masih akan lanjut mengomel jika saja dia tidak segera melihat menyadari kehadiran Zinnia. "Eh, Zinnia terbangun, ya?" ujarnya, bergegas menghampiri Zinnia dan memegang anak itu seolah takut dia tiba-tiba tumbang.

"Mama, dimana?" Zinnia bertanya.

"Ibumu tadi pergi keluar, sebentar lagi juga bakal balik, kok. Ayok nunggu di dalam aja yaa."

Zinnia menggeleng.

"Kamu kan masih belum sehat betul."

Perawat itu sedikit memaksa untuk membawa Zinnia kembali ke kamarnya. Tapi, bocah itu sudah kelewat bosan sehingga dia mencuri-curi cara supaya bisa menyelinap keluar. Tentu saja perawat itu berbohong, Mama baru akan kembali setelah pulang kerja, artinya selepas magrib.RS Djuanda punya taman yang cukup bagus. Zinnia sedang asyik mengulurkan tangannya ke air mancur ketika satu tangan mungil terulur ke depan wajahnya. Bocah lelaki yang tadi mengacungkan sandal putih buluk pada Zinnia, membuat Zinnia kecil langsung mengaktifkan mode awas.

"Mau apa?" cicitnya tajam.

"Mau kasih ini, nanti kakimu luka." Bocah lelaki itu berjongkok, menjatuhkan sandal yang dia bawa ke kaki Zinnia. Gerakan yang reflek membuat Zinnia mendorongnya. Naas, dorongan pelan itu ampuh menjatuhkan lawannya ke dalam kolam air mancur.

Zinnia shock, Alvaro lebih shock lagi. Namun, bocah lelaki itu cukup sigap untuk segera bangkit dan berlari kelaur sebelum menciptakan keributan.

"Ma .. maaf," cicit Zinnia panik. Bagaimana jika anak itu tenggelam karena ulahnya? Dia tidak mau kejadian yang sama menimpa orang lain yang tidak bersalah.

"Aku nggak pa-pa." Si bocah lelaki mengacungkan jempol meski badannya menggigil. Terjatuh ke kolam air mancur di jam dua belas siang bukan ide bagus.

"Tapi baju kamu basah, gimana ini, aku panggil kakak perawat, ya?"

"Nggak apa, kok, nanti aku bisa ganti baju sendiri."

Syukurlah. Zinnia tidak benar-benar ingin memanggil perawat, karena dia sendiri sedang menghindar.

"Sendalnya dipake," kata bocah lelaki.

"Beneran buat aku? Ngg .. kamu nggak lagi mau ngerjain aku?"

"Ngerjain gimana?"

Zinnia ragu-ragu mengambil sandal jepit itu. Harus diakui, kakinya terasa makin terpanggang menginjak rumput yang memantulkan cahaya matarahi. Dia menjauh dari kolam air mancur, jaga-jaga kalau bocah lelaki itu akan mendorongnya balik, seperti yang dilakukan teman sekelasnya.

"Ma ... makasih," ucapnya pelan. Zinnia lega lelaki itu tidak melakukan hal jahat padanya. Mungkin dia memang baik? Zinnia ingin berteman dengannya.

"Tunggu di sini, aku ganti baju dulu, nanti aku bawa makanan."

"Eh?"

Bocah lelaki itu berlari dan menghilang dibalik salah satu lorong. Zinnia ragu apa dia akan benar-benar kembali. Tapi, gagasan makan terdengar sebagai ide yang bagus. Oleh karena itu, dia kembali memainkan jemarinya di percikan air mancur yang keluar dari guci-guci yang tersusun di tengah kolam. Lima belas menit berlalu, bocah lelaki tadi ternyata benar-benar muncul kembali. Sekarang dia memakai kaos dan celana kuning cerah, seolah sedang cosplay menjadi matahari. Senyumnya tersungging lebar sementara tangannya menggenggam dua bungkus ciki dan aneka cokelat batangan.

"Ayok ke sana." Dia menunjuk pada bangku panjang tak jauh dari air mancur.

Zinnia masih bersikap awas, namun bocah lelaki itu selalu punya cara untuk melemahkan pertahanannya. Snack yang dia bawa semuanya terasa enak, apalagi ketika bisa dia nikamti bersama seseorang yang mengajaknya bicara.

"Jadi, namamu Zinnia?"

Zinnia mengangguk. Tangannya asyik mengupas biji kuaci.

"Kamu nggak tanya namaku?"

Lihat selengkapnya