Stoples Cinta untuk Alvaro

anjel
Chapter #34

Teman yang Berharga

Dua jam berlalu, Zinnia mulai menghembus napas dengan keras seraya mengibas-ngibas wajah. Hujan sudah reda. Kini, mereka ada di alun-alun kota, tempat anak-anak muda berlarian di lapangan voli, tertawa dan berseru-seru memanggil teman-teman mereka. Kontras dengan sosok Alvaro yang berjalan lesu dua meter di depan Zinnia, bahunya merosot dalam hoodie-nya yang lembab.

Zinnia mulai kehilangan kesabaran.

"Al!" Zinnia mencoba memanggil.

Alvaro bergeming, hanya terus berjalan seolah sudah hanyut dalam gelombang pikirannya.

Angin menerbangkan sehelai daun mangga yang jatuh tepat di kepala Alvaro. Sebuah pertanda keberuntungan, kata orang-orang. Namun, Zinnia tidak percaya. Entah sejak kapan keberuntungan berhenti mengikuti Alvaro. Jika hidup diibaratkan sebuah ruangan, dinding di ruang milik Alvaro seolah bergerak menghimpitnya.

Dia ingin mengajak Alvaro berlari keluar sebelum tergencet. Setiap ruangan pasti memiliki pintu, 'kan? Alvaro adalah anak lelaki yang delapan tahun lalu memberinya semangat untuk berubah. Hari ini, dia ingin memastikan dia juga bisa memberi semangat yang sama untuknya.

"Alvaro!" panggilnya lagi, lebih keras.

Alvaro tetap bergeming. Zinnia bersumpah melihat telinga Alvaro berkedut. Lelaki itu jelas mendengarnya, namun memilih abai. Muka Zinnia memerah.

Gadis itu mengatur napas, berlari lebih dekat. Kali ini jarak mereka tinggal satu meter.

"Alva..." Nada tinggi yang ia latih di klub teater beberapa bulan itu menggaung. Namun, sebelum kalimatnya selesai, sebuah benda terasa menghantam kepalanya dengan keras. Membuat gadis itu terduduk di jalan setapak. Dia mengaduh, namun bersyukur tidak sampai jatuh ke parit di sampingnya.

Sebuah bola voli terkulai dekat kaki Zinnia setelah menghantam kepalanya. Gadis itu butuh merapal namanya dalam hati untuk memastikan dia tidak hilang ingatan. Baru setelah dia berhasil mencerna kejadian, Zinnia memungut bola dan bangkit dengan perasaan kesal.

Dia berniat melemparkannya dengan penuh amarah ke lapangan voli. Namun, saat ia mengangkat kepala, ia mendapati Alvaro sudah berhenti berjalan.

Mata mereka bertemu. Lima meter di antara mereka terasa begitu jauh. Wajah Alvaro tampak sangat kusut. Memeluk bola yang dipungutnya, Zinnia menelan ludah dengan getir. Wajah berantakan tidak cocok dengan kepribadian Alvaro yang ceria.

"Al!" panggil Zinnia lagi. Namun, lagi-lagi Alvaro kembali berjalan dengan acuh. Meninggalkan Zinnia seolah gadis itu tidak pernah ada di sana.

Lihat selengkapnya