Stoples Cinta untuk Alvaro

anjel
Chapter #24

Ujian Akhir Semester

Alvaro itu ... adalah cowok yang baik. Cowok yang baik sudah seharusnya tumbuh dengan baik.

***

Alvaro tidak ingat banyak hal begitu terbangun di bangsal rumah sakit. Tentu saja menemukan Zinnia adalah hal yang paling tidak dia inginkan. Sekelumit rasa penyeselasan menguar dari hatinya karena cewek itu terpaksa menyaksikan perbuatan bodohnya. Namun, apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Sekarang yang bisa dia lakukan tinggal memberi toping dan menikmatinya.

Terdengar suara pintu didorong terbuka dari luar. Pak Bambang muncul dengan wajah lelah.

"Senin ini kamu ulangan, bisa-bisanya kayak gini, Al," ujar pria tua itu. Matanya menatap miris pada lengan Alvaro yang terbalut perban. "Untung Zinnia tepat waktu menemukan kamu."

Alvaro bergeming. Lelaki itu memilih menarik selimut untuk menutupi wajahnya.

"Ayah kamu sudah datang. Dia marah sekali," lanjut Pak Bambang, seolah tidak peduli pada keengganan Alvaro untuk mendengarkan. Ia menuangkan air pada gelas kosong di meja. "Anggun juga menangis di telepon sewaktu saya mengabari."

"Ibu?" suara Alvaro terdengar dari balik selimut.

Pak Bambang menghentikan gerakan tangannya yang hendak menaruh kembali gelas air ke meja.

"Dokter Almira sedang ada jadwal operasi. Tapi saya bertemu dia di meja administrasi, dia sudah bicara dengan dokter yang menangani kamu dan mengecek rekam medis untuk memastikan kondisi kamu." Pak Bambang menjeda kalimatnya. "Sejujurnya, dia bilang tidak berniat menjenguk kamu ke sini."


***


Zinnia mengetuk-ngetukkan pulpennya ke atas maja. Sementara tangan kirinya mencengkeram perut dengan erat. Tak ada tarian lincah di atas kertas coretan untuk ulangan matematika, perutnya terlalu perih sehingga dia tak bisa berkonsentrasi penuh terhadap soal-soal yang tersaji di hadapannya. Giginya menggigiti bibir bawah ketika satu sentakan nyeri kembali menghujam perutnya.

Setelah hari melelahkan dan penuh kegelisahan di rumah sakit, ia tak percaya hari ini terbangun pukul tujuh pagi dengan jantung berdebar. Zinnia mengambil langkah seribu ke kamar mandi dan melewatkan sarapan demi mengejar gerbang sekolah yang akan tutup pukul setengah delapan.

Begitu menginjakkan kaki ke koridor Alibasyah, kegelisahannya tak juga mereda. Hari ini adalah hari pertama palaksanaan ujian akhir semester genap kelas sebelas. Zinnia tak sempat belajar sebab terlalu lelah menangisi Alvaro. Tapi, hal yang lebih menghawatirkan muncul saat dia mulai merasakan nyeri di perutnya akibat melewatkan tiga waktu makan sekaligus.

Zinnia mengerang dalam hati. Telapak tangannya terasa basah oleh keringat. Tapi, bukan saatnya mengeluh. Dia harus mengisi lembar jawabannya. Setidaknya untuk beberapa soal, Zinnia masih cukup hapal rumus-rumusnya.

Lihat selengkapnya