Story Between Us

nurriyah zahed
Chapter #10

Hari Bersamanya

Hari Bersamanya

Banyuwangi, Mei 2010

Ku pikir situasi canggung akan mendominasi setelah semuanya. Tapi tidak, aku justru menemukan sosok baru darinya. Ya, meskipun perilakunya yang menyebalkan itu masih tetap ada.

Aku ragu tentang kamuflase, atau sebenarnya memang begini karakternya. Ah, tidak masalah. Aku sudah cukup kebal. Setidaknya dia juga bisa bersikap ramah dan asyik terhadap ku.

Suasana belajar menjadi lebih menyenangkan dari sebelumnya.

Hei! Walau bagaimanapun, aku tetaplah muridnya.

Dan karena itu dia menjadi semakin sewenang-wenang terhadap ku. Bisa-bisanya menambah jam belajar. Tanpa pemberitahuan. Ini benar-benar keterlaluan. Tapi ku rasa aku tidak memiliki pendukung. Karena semua orang sudah setuju. Astaga ... harusnya aku yang dimintai persetujuan kan.

"Kenapa?"

Pakai ditanya, apa raut frustasi ku tidak cukup dimengerti?

"Aku lelah. Istirahat bentar ya!" Astaga, sejak kapan aku dramatis begini? Sangat menggelikan.

"Tinggal satu soal lagi. Selesaikan!" Rautnya terlihat tegas. Aku tidak bisa melawannya. Tapi benar juga. Nanggung banget nih. Baiklah, mari kita tuntaskan. Nanti soalnya bisa nangis. Meskipun realitanya, akulah yang ingin menangis.

Aku mengerjakannya dengan segera, tapi tidak asal tentu saja. Atau keinginan untuk istirahat akan menjadi kenangan saja.

Yeay, i'm done. Ku sodorkan buku tulis ku. Dan seperti biasa, proses cek dan ricek dimulai.

Aku beruntung, semua jawaban ku benar. Ini sungguh nikmat yang luar biasa. Karena biasanya aku melakukan kesalahan. Bisa tiga atau lima nomor yang harus diperbaiki.

"Mengagumkan. Sebagai reward mau jalan-jalan sebentar?"

Wow! Menarik. Tapi sayangnya, aku harus menunda euforia ini. Ayah tidak akan mengizinkan. Aku belum pernah keluar berdua dengan lelaki. Selain Ayah dan Abang. Apalagi malam-malam begini.

"Tenang saja, Om Andra sudah memberi izin."

Hah? Benarkah? Ayah? Kapan? Jelas-jelas sejak tadi dia tidak beranjak sedetikpun. Seharusnya aku lega, tapi juga bingung dengan situasinya.

***

Jalan-jalan yang dimaksud ternyata bukanlah kiasan. Karena kami memang tidak sedang mengendarai apapun. Benar-benar melangkah dengan kaki.

Dan sejak tadi sudah beberapa kali aku hampir jatuh. Tersandung lah, menabrak punggungnya lah, terinjak kaki sendiri lah. Parahnya, aku salah ambil jalan.

Semua ini karena satu hal.

Aku masih memikirkan bagaimana dia mendapatkan izin dari Ayah. Maksud ku, semudah itu?

Sampai aku tidak menyadari bahwa kami tiba di kawasan pedagang kuliner malam. Lahh! Biasanya aku butuh waktu agak lama untuk ke sini. Ternyata lebih cepat jika berjalan kaki.

"Kakak, kok bisa tahu jalan pintas?"

Lihat selengkapnya