See You Soon
Banyuwangi, Juni 2010
Aku sudah berusaha keras meyakinkan dirinya. Tapi dia juga lebih keras kepala. Menjadikan ku menyerah pada keputusannya. Yang membuat ku tak mengerti. Bagaimana pemuda ini dengan mudahnya mendapatkan izin dari Ayah.
Saat ku tanya, bukan jawaban yang ku dapat. Melainkan rasa kesal.
Alhasil aku benar-benar tidak merespon apapun ucapannya. Ya maaf, my periode is come.
Sekarang baru pukul enam lewat lima menit. Tapi sudah cukup ramai murid berlalu lalang. Yang didominasi wajah-wajah baru. Sesaat aku teralihkan. Mengingat hari pertama menjadi siswi SMA. Yang sebenarnya sangat tidak ingin aku ingat lagi.
"Hei!"
Aku tersadar dari lamunan. Dan ku dapati senyuman yang begitu manis dan menawan. Ah ... batal deh kesalnya.
"Ku rasa marahnya sudah hilang. Apa aku harus pamit sekarang?"
Aku berusaha memahami kalimatnya. Entahlah, terdengar seolah dia akan pergi jauh. Tapi aku tidak yakin. Perasaan itu muncul lagi.
"Tentu saja. Terima kasih untuk tumpangannya." Mendadak suasana hati menjadi tidak baik.
"Ck! Aku mengantarmu dengan senang hati, Zoy."
Ya Tuhan ... apanya yang salah. "Oke, ralat. Terima kasih sudah mengantarku pak guru. Puas!"
"Lumayan. Meskipun aku tidak suka dengan sebutan itu."
Haduh!! Pemuda ini bisa merepotkan juga rupanya. Memang aku harus menyebut dirinya bagaimana?
"Aku masuk dulu, hati-hati naik motornya!"
Aku menyeberang jalan setelahnya. Kemudian aku mendengar seruan darinya.
"Telepon aku sebelum pulang. Belajar yang baik!"
Lalu motor biru itu melaju hingga tidak terlihat lagi. Dan aku seperti baru mendengar salam perpisahan.
***
Memang ya, proses penyebaran informasi itu bisa lebih cepat dari penularan virus. Yang benar saja.
Seingat ku tidak ada yang melihat selain para junior, yang notabene tidak mengenali diri ku.
Tapi aku salah, murid-murid di sini bisa punya selusin pasang mata dan telinga. Aku harus terima diledek habis-habisan.
Huft! Hari pertama masuk sekolah aku sudah disambut dengan cara begini. Stok malu akan menumpuk selama sepekan atau bahkan lebih.