Story Between Us

nurriyah zahed
Chapter #28

Deep Talk

Deep Talk

Sritanjung Permai, 5.00 p.m

Setelah semua yang dia lakukan padaku. Bisa-bisanya dengan tanpa rasa bersalah dia melewati ku. Begitu saja. Punya saudara begini amat ya. Andai saja dia bisa benar-benar ditukar.

Aku mendengar suara berisik di dapur, juga aroma mie instan yang menguar ke seluruh ruangan. Aku jadi lapar. Karena memang melewatkan makan siang. Aku hanya mengunyah kudapan kecil saat Reno di sini.

Berbekal alibi mengambil air, aku menuju dapur. Pas sekali Abang sedang menyajikan dua mangkuk mie. Yang kepulan asapnya sangat menggugah selera.

"Lo belum makan kan?"

Aku merespon dengan malas. Hanya dengan gelengan kepala.

"Ck! Gitu aja ngambek. Ikut gue!" Pemuda itu beranjak dari dapur, sambil membawa nampan. Ku ikuti langkah kakinya. Ternyata dia menuju ke belakang. Mau ngapain coba ke sini?

"Duduk sini Dek!" Serunya, dengan menepuk tempat kosong di gazebo. Ah, boleh juga idenya. Makan di sini akan sangat menyenangkan.

Eh, memang itu untuk ku? Aku masih berdiri di jalan setapak.

"Iya, Abang minta maaf! Yakin nih nggak mau?" Dia menghirup uap dari mangkuk. Lalu memejamkan mata sambil tersenyum lebar. "Hmmm! Mie rasa soto dengan telur setengah matang. Beugh, mantap."

Aku yang tidak tahan melihat sikapnya, langsung duduk di hadapannya. "Oke, permintaan maaf diterima. Tapi aku tetep kesel."

Pemuda jangkung itu malah tertawa lepas. Dia juga sempat menarik ujung hidung ku.

"Udah berani pacaran, tapi masih kayak anak-anak."

Hih! Tidak ada hubungannya sama sekali. Bukankah dia baru saja meminta maaf ya.

"Mulai deh, niat nggak sih minta maafnya?"

Tanpa menanggapinya, Abang malah sibuk menikmati isi mangkuknya. Dasar menyebalkan. Tapi aku juga sangat menyayanginya.

***

Emosi manusia bisa berubah dengan cepat hanya karena hal-hal sederhana ya. Beberapa waktu lalu aku sangat kesal, tapi gumpalan itu ambyar hanya karena semangkuk mie. Tepatnya yang dibuat dengan sepenuh hati.

Dulu Abang lumayan sering membuatnya. Saat hujan seperti ini. Tanpa sepengetahuan Bunda tentunya. Karena beliau kurang suka. Aromanya bikin pening katanya.

Kalau diingat-ingat, sudah jarang juga kami menghabiskan waktu bersama. Padahal dulu saat Abang masih berstatus sebagai siswa, kami sering keluar bareng. Diusahakan sepekan sekali, harus ada waktu untuk main bareng.

Semenjak akhir semester kelas dua belas, hingga saat ini dia menjadi manusia sibuk. Sejujurnya aku sangat merindukan saat-saat bersamanya.

Tapi aku juga tidak boleh egois kan, dia juga punya prioritas.

Setelah wisuda beberapa bulan lalu, dia sudah diterima kerja oleh tempat magangnya. Aku yang paling semangat untuk hari pertamanya. Sampai mengambil alih tugas untuk menyetrika pakaiannya. Juga menyiapkan sarapan untuknya.

"Gimana proyeknya Bang?" Iya, sebagai fresh graduate dia sudah dipercaya untuk menangani itu.

"So far lancar-lancar aja. Doain supaya kliennya juga bahagia dengan hasilnya."

Tanpa diminta aku juga akan melakukannya. "Zoya yakin sih kliennya akan suka. Abang itu nggak ada bedanya sama Ayah." Ya, keduanya selalu melakukan sesuatu dengan pemikiran yang matang. Dan ketulusan tentunya. Aku tidak sedang memuji, tapi mengatakan realita.

Lihat selengkapnya