Story Between Us

nurriyah zahed
Chapter #29

Malam Pelantikan

Malam Pelantikan

Banyuwangi, Januari 2011

Perjalanan yang panjang, dengan akses berbatu. Rutenya sangat melelahkan dengan puluhan kelokan, tanjakan dan turunan. Membayangkannya saja sudah bikin mual ya. Apalagi yang terjun langsung ke lapangan. Beuh! Mantap jiwa kawan ...

Oh, itu baru aksesnya ya. Kami juga harus terbiasa menjalani kehidupan zaman baheula. Tanpa listrik tanpa gawai. Kehidupannya masih sangat alami. Jauh dari hingar-bingar. Terkesan asing dari peradaban. Tapi lumayan loh, ada sekitar seratus kepala keluarga di sini.

Sebenarnya bukan tidak ada sinyal sama sekali. Hanya saja butuh effort yang lumayan menguji adrenalin. Khususnya bagi yang phobia ketinggian seperti ku.

Sayangnya aku sangat terpaksa melawannya, darurat soalnya.

Minimal bukitnya tidak terlalu curam.

Namun dibalik kesulitan itu, tempat ini menyuguhkan keindahan luar biasa. Saat pertama kali melihatnya, rasanya seperti berada pada dimensi berbeda. Sunyi, damai, udara yang sejuk dan tidak dicemari. Pepohonan yang rindang dan menyejukkan mata.

Mata air yang jernih dan dingin.

Aku seperti melihat lukisan yang nyata.

Tiga hari berada di sini, aku merasa terbiasa dengan semuanya. Ya, kecuali soal sinyal. Astaga ... aku cukup kewalahan menahan rindu.

Ya, pada akhirnya Abang maupun pak guru tidak ada yang bisa ikutan. Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Kadang aku rela dibakar sinar matahari demi bisa mendengar suara mereka. Itu lebih baik dari pada menjelma sebagai makhluk astral. Yup, Tania dan Risty punya pengalaman tentang itu. Bisa-bisanya, mereka naik bukit saat malam hari. Ya memang sih, lokasinya dekat buper. Dan areanya tidak terlalu luas. Jadi kesannya tidak terasing. Tapi tetap saja, itu mengerikan.

***

Kesunyian tidak selalu menghadirkan kenyamanan. Seperti suasana saat gelap menyambut di sini. Suara nyanyian malam menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan.

Mungkin kemarin-kemarin tidak terlalu terasa karena kami beramai-ramai di perkemahan. Tapi sekarang, jelas sangat berbeda.

Aku sudah gemetar sejak tadi, tapi demi tugas aku berusaha untuk bertahan. Hanya ditemani cahaya lilin yang ku tancapkan, dan sebuah senter di tangan. Aku bersama Reno sedang berjaga di pos I.

Ini yang merancang pembagian tugas nggak kira-kira nih. Sengaja banget menempatkan ku di sini. Mengapa tidak di pos yang lebih ramah bagi kesehatan jantung gitu. Tri Satya atau Dasadharma misalnya.

Baiklah, jangan mengeluh Zoya. Hanya perlu menunggu satu kelompok lagi, dan tugas berakhir.

Tapi sepertinya mereka akan sedikit lebih lama.

"Lo baik-baik saja?"

"Aku baik. Tapi mereka lama banget Ren. Aku khawatir kalau..."

"Ssshhhh... jangan berpikir yang tidak-tidak. Mereka pasti datang sebentar lagi."

Entahlah, aku tidak bisa mengendalikan pemikiranku. Masalahnya ini sudah terlambat. Karena jarak barisan satu dengan yang lainnya seharusnya tidak terlalu jauh. Yang awal-awal juga demikian.

"Ren, sebaiknya kamu periksa. Aku nggak tenang ini."

"Jangan main-main, Zoy. Gue nggak akan ninggalin lo di sini."

Aku juga nggak mau sendirian, tapi harus. Semoga memang tidak terjadi apa-apa. Tapi aku benar-benar khawatir.

"Ren, tolong! Aku akan baik-baik saja," ku cengkeram lengannya. Untuk membuatnya yakin.

"Oke, tapi kasi sinyal jika lo butuh bantuan. Gue akan segera kembali," pemuda itu bangkit berdiri. Dia terlihat ragu, namun pada akhirnya tetap menuruti keinginan ku.

Aku terus merapalkan doa tiada henti. Sambil menutup mata tentu saja. Percayalah, dalam situasi begini. Itu keputusan terbaik. Setidaknya bagiku. Sungguh, aku tidak pernah terpikir berada di situasi seperti ini. Di tengah hutan, sendirian.

Tunggu sebentar, sepertinya aku mendengar sesuatu. Suaranya seperti ... teriakan. Ya Tuhan ... itu apa? Tidak tidak. Tenang Zoya, beranikan dirimu. Ambil napas panjang ... hembuskan perlahan ... oke, melangkah pelan sekarang juga. Aku bangkit meskipun rasanya sekujur tubuhku gemetar.

Ku rasa berasal dari arah timur. Itu jelas bukan rute yang dilalui seharusnya. Aku memutuskan untuk ke sana, tapi mungkin tidak akan terlalu jauh. Sehingga aku masih bisa kembali dengan mudah. Meskipun pada kenyataannya, aku tidak yakin mengingat jalannya.

Tapi semakin lama suaranya semakin jelas. Dan sangat berisik. Membuat ku yakin bahwa itu bukan sesuatu yang ku pikirkan sebelumnya.

"Hei... siapa di sana...?" Aku berteriak semampunya. Meskipun rasanya seperti tercekat.

Tak ada respon, justru keheningan mendominasi. Aku mulai gemetar. Ya Tuhan ... aku jelas mendengar suara orang tadi.

Oh iya, senter. Segera ku ambil benda itu dan menyalakannya.

Ku sorot ke berbagai arah lalu tak sengaja aku melihat bayangan. Saat itu juga aku mendengar teriakan lagi. Lalu ku arahkan senternya ke sumber suara.

"Hei... siapa di sana?"

Lihat selengkapnya