Ledakan
Alun-alun kota, Februari 2011
Khusus untuk hari ini, Saras dan Neha meliburkan diri. Dari tugas negara, yaitu menjadi alarm tiap akhir pekan. Sebenarnya mereka keberatan. Karena bukan atas kemauan sendiri. Siapa tersangkanya? Tidak lain adalah pemuda bernama Zafran Pramudya.
Dan akibat dari ulahnya, Neha protes keras melalui telepon. Suaranya begitu kencang hingga telinga ku terasa pengang. Gadis itu merasa kesal, karena rencana yang sudah kami buat sia-sia. Neha bahkan mengatakan ingin melempar pemuda itu ke Neptunus. Astaga ... ada-ada saja.
Jadi kepulangannya kali ini mengandung suara conveti. Katanya baru berkunjung pekan depan. Eh ... pagi-pagi buta orangnya sudah muncul di depan pintu. Bukan pintu pagar lagi, melainkan pintu kamar. Milik Abang. Iyalah, bisa langsung dapat SP 3 jika berani menghampiri kamarku.
"Sayang, udah ditunggu, ayo keluar!" suara Bunda dari balik pintu. Sudah tiga kali beliau memperingatkan aku. Sebenarnya aku sempat tertidur lagi tadi.
Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, aku segera keluar dan menuju ke bawah.
Ternyata sedang ada turnamen di ruang keluarga. Tiga lelaki sedang menatap papan catur dengan serius. Salah satunya hanya sebagai juri tentunya. Tapi di mana Bunda? Bukankah beliau baru memanggil ku? Cepat sekali pergerakannya.
Aku memilih untuk pergi ke dapur, mencari sesuatu untuk pemanasan. Pemanasan mulut tepatnya.
"Kamu nyari apa?"
Aku langsung menegakkan tubuh dan berbalik. "Eh, Bunda. Ini Bun, mungkin ada yang bisa dikunyah pagi ini."
"Loh, katanya pada mau makan di luar."
Iya sih. Tapi bisa pingsan kalau menunggu mereka selesai. "Yang lagi tanding serius banget itu. Baru kelar minggu depan kayaknya." Masalahnya, kalau sudah seru begitu. Bisa lupa diri. Eh, waktu maksudnya.
"Benar juga kamu. Tunggu ya!" Bunda beranjak pergi. Aku mengekorinya. Aku tidak tahu apa yang beliau akan lakukan. Tapi langkahnya menuju ke ruang keluarga. Menemui Ayah tepatnya. Entah apa yang Bunda katakan. Tapi detik berikutnya Ayah langsung berdiri dan meninggalkan kami semua. Dengan senyuman aneh, yang terlihat menggelikan.
Mencurigakan nih. Tapi aku harus berterima kasih.
***
Pemuda ini tampak begitu bersemangat. Entah sudah berapa kali putaran. Yang jelas aku lelah sendiri melihatnya. Tadinya aku juga melakukannya, meskipun hanya jalan santai.
Maaf, aku belum bisa berlari dari kenyataan. Loh.
Dan tahu-tahu dia sudah duduk selonjoran di dekat ku.
Segera ku berikan air mineral untuknya. Yang langsung habis dalam hitungan detik.
"Untung nggak keselek botol."
"Hahaha! Haus banget tau."
Tentu saja. Larinya udah kayak dikejar deadline begitu.
"Apa teman kamu masih marah?"
"Jangan diambil hati. Neha memang gitu." Jadi, saat marah-marah di telepon. Neha ingin berbicara dengan pak guru. Aku bisa mendengar, karena pemuda itu mengaktifkan speakernya.